Kehidupan Beragama di Jepang

Ilustrasi
Sumber image : keranjangkecil
Pengantar
Dari pelajaran sejarah dunia, yang kita dapatkan di sekolah,
mungkin dijelaskan bahwa mayoritas penduduk Jepang beragama
Buddha atau Shinto yang merupakan agama asli penduduk setempat.
Penjelasan yang sama sekali tidak salah, karena dua tempat
ibadah itulah yang paling dominan bisa temukan di sini.
Namun benarkah kedua agama itu merupakan agama terbesar
yang dipeluk oleh kebanyakan orang Jepang ?
Gambaran Umum
Negara Sekuler
Jepang adalah negara sekuler, yang hal itu berarti negara
tidak ikut campur masalah agama. Dalam setiap data pemerintahan
atau surat resmi lainya tentang identitas penduduk, identitas
agama tidak dicantumkan dan juga tidak akan pernah ditanyakan.
Mungkin ada di antara pembaca yang bertanya "Bagaimana
dengan agama di KTP ?" Mereka tidak mengenal sistem
KTP. Identitas seseorang biasanya cukup ditunjukkan dengan
SIM, kartu pelajar, kartu karyawan dan sejenisnya. Jadi
dalam hampir semua aktifitas sehari hari mereka nyaris tidak
ada kesempatan untuk menjelaskan tentang identitas agama
yang kita anut.
Tentu saja layaknya negara sekuler lainya, kantor department
agama, menteri agama dan juga hari libur untuk memperingati
hari besar agama tertentu, ataupun ucapan selamat dari kepala
pemerintahan pada perayaan agama tertentu, praktis tidak
ada. Yang mungkin lebih menarik lagi adalah di lingkungan
dunia pendidikan, pelajaran agama adalah dilarang untuk
diajarakan di semua sekolah negeri milik pemerintah. Agama
hanya dibahas dalam konteks sejarah saja.
Orang Jepang ternyata tidak beragama !
"Saya tidak beragama !" Mungkin ini adalah jawaban
yang paling umum kalau seandainya Anda bertanya tentang
agama pada orang Jepang. Jawaban yang sepertinya sangat
wajar bagi mereka namun tentu saja sangat tidak wajar bagi
kita.
Pertanyaan tentang agama cendrung umum ditanyakan oleh
orang asing, tidak bagi sesama orang Jepang. Nah, bagi mereka
yang tidak biasa atau tidak pernah berkomunikasi dengan
orang asing, mendadak ditodong dengan pertanyaan "Agama
Lu apa ?" terang saja mereka bingung dan akhirnya cendrung
menjawab tidak tahu. Sebagian lagi mungkin saja menjawab
dengan agama Buddha atau
Kristen, namun kalau Anda
bertanya lebih jauh tentang ajaran dari masing masing agama
yang mereka sebutkan tadi, saya yakin Anda akan mendapatkan
jawaban yang hampir seragam yaitu "Tidak tahu".
Yang paling menarik mungkin adalah tentang agama Shinto.
Hampir dipastikan bahwa Anda tidak akan pernah mendengar
ada orang Jepang yang mengaku beragama Shinto. Kalau Anda
mempelajari lebih jauh tentang agama Shinto mungkin semuanya
akan menjadi sedikit lebih jelas karena bagi mereka Shinto
bukanlah agama, namun hanya budaya atau kebiasaan saja.
Shinto sama sekali tidak mengenal ajaran, kitab suci atapun
nabi, namun uniknya memiliki kuil atau tempat suci untuk
sembahyang. Selengkapnya tentang Shinto bisa dibaca disini.
Sebetulnya bukan cuma sebatas agama Shinto saja, pada dasarnya
semua agama bagi orang Jepang hanyalah sekedar budaya, tradisi
atau kebiasaan saja.
Pendapat Sebagian Orang
Jepang
Tentang Agama
Agama adalah tidak penting !
Bagi kebanyakan orang Jepang, agama bukanlah merupakan
sesuatu hal yang penting, seperti yang tampak pada hasil
survery yang dipublikasikan pada buku Japan Religion
and Society Pradigms of Structure and Change, karangan
Winston Davis, 1992, menunjukkan hasil yang cukup mencengangkan,
Negara |
Sangat
Penting |
Sedikit
Penting |
Tidak
Terlalu penting |
T
idak penting |
Tidak
tahu |
Jepang |
12 % |
34 % |
44 % |
10 % |
0 % |
Eropa Barat |
27 |
32 |
26 |
13 |
2 |
Inggris |
23 |
26 |
26 |
20 |
5 |
Amerika |
56 |
30 |
8 |
5 |
1 |
India |
81 |
14 |
3 |
2 |
0 |
Jadi menurut tabel di atas, tampak bahwa 44% responden
menganggap bahwa agama adalah tidak terlalu penting bagi
mereka.
Jadi kalau bukan agama, apakah
yang dianggap penting bagi mereka ?
Jawabannya (sepertinya) adalah Prilaku
dan Sopan santun. Hal ini
mungkin dipengaruhi oleh ajaran Buddha yang lebih mementingkan
perbaikan prilaku dan pencarian
diri dibandingkan dengan pencarian Tuhan atau
agama. "Apa nama Tuhan dalam agama Buddha ?" pasti
akan susah untuk dijawab dan mereka sama sekali tidak mempersalahkanya
karena menganggap jawaban dari pertanyaan tersebut tidak
akan berpengaruh terhadap prilaku seseorang.
Dalam tata krama etika sopan santun berprilaku mereka sangat
ketat atau bahkan tidak berlebihan kalau saya katakan keterlaluan.
Bagi yang pernah mempelajari bahasa Jepang pasti tahu, bagaimana
pentingnya memahami bahasa sopan, bahasa standar dan bahasa
merendahkan diri. Pilihan kata yang salah atau terbalik
dianggap sebagai tidak tahu manner atau sopan sopan,
tanpa peduli betapa seringnya anda sembahyang.
Agama = berbahaya !
Tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan orang Jepang akan
memadang negatif pada segala aktivitas yang berbau agama,
bahkan sebagian kecil dari mereka beranggapan bahwa agama
hanya cocok dipelajari oleh orang yang memiliki kelainan
mental atau sakit jiwa ! Terlebih lagi kalau diantara mereka
yang topik pembicaraannya selalu menyerempet atau menyebut
Tuhan, dijamin 100% pasti akan dianggap gila.
Setelah terjadinya tragedi serangan gas sharin yang dilakukan
oleh kelompok agama Aum Shinrikyo, pandangan kebanyakan
orang tehadap agama yang memang sudah negatif semakin buruk.
Teror, perang, kerusuhan dan ledakan bom atas nama agama
yang banyak terjadi belahan dunia lain, tampaknya seperti
membenarkan pendapat meraka dan membuat kecurigaan mereka
agama seakan mendapat tempat.
Agama adalah kebebasan
Bagi kebanyakan orang Jepang, agama adalah suatu kebebasan.
Dengan beragama jiwa menjadi bebas. Mereka sama sekali tidak
mau terikat dengan satu faham agama tertentu. Jadi bukan
hal aneh kalau masyarakat di negara tersebut menjalankan
berbagai ritual agama campur aduk tanpa pernah ada yang
memperdebatkannya.
Kebanyakan orang akan Jepang di hari tertentu akan berdoa
di kuil Shinto, namun di
hari yang lain juga berdoa di kuil Buddha.
Saat upacara kelahiran, dewasa, peresmian gedung dan ritual
lain yang bersifat keduniaan umumnya dilakukan dengan ritual
Shinto dan untuk upacara kematian dilakukan sepenuhnya dengan
ritual Buddha. Sedangkan khusus untuk upacara pernikahan
sepertinya jauh lebih unik lagi. Ada dua pilihan yang ada
yaitu menikah ala Jepang yaitu dilangsungkan di kuil Shinto
atau menikah ala barat yang berlangsung di gereja. Apakah
pasangan pengantin tersebut adalah beragama Kristen, Shinto
atau Buddha tidaklah terlalu penting bagi mereka.
Hal lain adalah dari banguan kuil yang ada, baik kuil Buddha
maupun Shinto, yaitu bebas dimasuki oleh siapa saja. Pengunjung
tidak akan pernah ditanya tentang agama dan juga datang
ke kuil tidak dituntut harus berdoa atau sembahyang. Anda
juga bisa berkunjung ke kuil hanya untuk sekedar melihat
lihat ingin tahu atau kunjungan wisata biasa.
Jadi agama betul betul merupakan kebebasan di negara tersebut.
Hal inilah yang mungkin menyebabkan kebanyakan orang Jepang
merasa nyaman kalau memilih tidak beragama, suatu kebebasan
yang sepertinya tidak mungkin bisa didapatkan kalau harus
memeluk suatu agama tertentu.
Tolerasi kehidupan
beragama
Terlepas dari sikap acuh dan dingin tentang agama serta
pendapat miring dan pandangan negatif lainnya, namun secara
umum untuk urusan toleransi, situasinya bisa dikatakan sangat
bagus atau bahkan tidak berlebihan kalau saya katakan patut
diacungi dua jempol.
Ketika zaman Edo (1603 - 1868) agama Kristen dilarang dan
ditindas. pengikutnya dihukum mati atau diusir ke luar Jepang.
(baca : Sejarah
perkembangan Kristen di Jepang). Perlu diketahui
bahwa konfilk agama yang ada saat itu sesungguhanya bukan
disebabkan oleh alasan agama semata namun lebih banyak karena
alasan politik dan kekuasaan. Apapun alasannya yang jelas
semuanya ini adalah cerita lama yang sepertinya hampir tidak
mungkin ditemukan di era modern. Saat ini gereja bisa kita
jumpai di banyak tempat, bersebelahan dengan kuil atau jinja.
Belakangan ini, seiring dengan banyaknya pendatang dan imigran
di negara tersebut, agama Islampun mulai tumbuh dan bersemi
di negara ini.(baca : Islam
di Jepang). Ratusan mesjid berdiri seperti jamur
di musim hujan. Hal ini tentu saja tidak mungkin terjadi
tanpa didukung oleh iklim toleransi yang tinggi.
Toleransi dan saling menghormati kepercayaan pihak lain
juga bisa ditemukan dalam berbagai kesempatan. Dalam setiap
acara pesta atau perayaan misalnya, karena mengetahui saya
berasal dari Indonesia, pertanyaan seperti "Apakah
saya bisa makan daging babi atau minum bir ?" hampir
selalu ditanyakan. Sepertinya jaminan tentang kebebasan
beragama yang diatur oleh undang undang, berfungsi dengan
sangat baik dan bukan cuma sekedar slogan belaka.
Penutup
Jadi dari penjelasan saya di atas sepertinya
jelas bahwa agama bukanlah hal yang penting bagi mayoritas
penduduk negara tersebut. Agama adalah urusan pribadi dan
bagi pemerintah, agama dianggap sebagai bagian atau kegiatan
budaya.
Tanpa agama, apakah mereka bisa bahagia
? Apa tujuan hidup mereka ? Bagaimana mereka menjaga keseimbangan
antara rohani dan jasmaniah ? Bagaimana hubungannya dengan
kasus bunuh diri atau
pornografi yang marak
terjadi di negara tersebut ? Pertanyaan yang tampaknya wajar,
namun apapun jawabannya tampaknya tetap saja susah untuk
kita mengerti. Mungkin karena selama ini di dalam pikiran
kita sudah dibentuk suatu pemikiran bahwa agama adalah satu
satunya sumber moral dan tuntunan hidup sejati. Tanpa agama
berarti tidak bermoral.
Dalam sudut pandang yang lain, orang Jepang
pun juga susah mengerti "keterikatan" kita yang
menurut mereka berlebihan dalam hal agama. Sama halnya dengan
pertanyaan : "Apakah dengan beragama, sembahyang setiap
hari akan membuat hidup kita menjadi lebih bersih, tertib
dan tidak korupsi ?" Nah, pasti susah untuk menjawabnya
bukan ? Jadi dari kenyataan yang ada sepertinya antara agama
dan moral sama tidak selalu berhubungan.
Agama adalah ibarat Bekerja bagi orang
Indonesia, tanpa agama kita tidak bisa hidup. Sedangkan
bagi orang Jepang Bekerja adalah agama, tanpa bekerja (pekerjaan)
mereka tidak akan bisa hidup. Dengan penjelasan seperti
mungkin bisa sedikit lebih mudah diterima bagi orang oleh
kedua belah pihak.
Mereka tampak bangga dengan budaya kerja kerasnya dan di
belahan dunia lain ada masyarakat yang sangat bengga dengan
agama yang dimilikinya. Sepertinya menurut saya setiap orang
harus memiliki sesuatu yang harus bisa dibanggakan. Hilangnya
kebanggaan ini sama dengan hilangnya harga diri atau pegangan
hidup, seperti halnya dengan orang yang memilih mati karena
putus asa kehilangan harga diri dan pegangan hidupnya. Harga
diri dan pegangan hidup yang dimaksud tentu saja adalah
pekerjaan.
Itulah sedikit cerita tentang kehidupan beragama masyarakat
Jepang. Semoga bermanfaat
Ditulis oleh : nyoman ardika
Osaka Januari 2005
Revisi terakhir : Agustus 2009
Refferensi :
http://www.02.246.ne.jp/~semar/perbanas.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Religion_in_Japan
Winston Davis, 1992, Japan Religion and Society Pradigms
of Structure and Change
|