Pengemis dan Gelandangan,
Yang terbuang dan terlupakan
Jepang dikenal sebagai negara maju atau kaya, itu mungkin
benar. Namun tahukah Anda bahwa pengemis dan gelandangan
ternyata masih "cukup" banyak ditemukan di negara
tersebut Data tahun 2001 dari Kementrian Kesehatan, Buruh,
dan Kesejahteraan (MHLW)
homeless mencapai lebih dari 24.090 orang. Setiap tahun
ribuan orang harus tersisih akibat kerasnya persaingan hidup
dan dipaksa terlempar hidup di jalanan terlebih lagi untuk
mereka yang hidup di kota besar semacam Tokyo misalnya,
yang merupakan kantong gelandangan terbesar di Jepang.
Gelandangan, atau dalam bahasa jepang disebut homeless,
diambil dari bahasa inggris artinya adalah orang yang tanpa
rumah. Bagi ukuran negara dunia ketiga, istilah ini tentu
saja salah. Mereka tetap memiliki rumah walaupun cuma sederhana.
Cuma saja rumah ini dibangun di tempat yang tidak semestinya
yaitu sudut taman (41%) atau tepi sungai (23.3%). Umumnya
hanya bterbuat dari terpal atau bahan kayu sedikit permanen.
Namun tentu saja karena termasuk tempat publik maka mereka
sewaktu waktu harus selalu siap untuk digusur.
Apa yang menarik dari kehidupan mereka ?
Gelandangan bukan karena keturunan
Kebanyakan dari gelandangan di Jepang ataupun negara maju
lainya adalah bukan karena keturunan. Mereka awalnya adalah
orang yang hidup normal, sama seperti orang kebanyakan,
punya rumah dan pekerjaan tetap atau bisa jadi bekas pemilik
perusahaan. Tidak sedikit juga diantara mereka yang memiliki
keluarga, istri dan juga anak. Kehilangan pekerjaan, dililit
hutang, melarikan diri karena alasan tertentu serta mereka
yang memiliki gangguan mental adalah alasan yang paling
umum dari kehidupan para gelandangan di negara maju. Jadi
bisa dipastikan sebagian besar dari mereka sama sekali tidak
memiliki pengalaman menjadi gelandangan.
Dari segi umur kebanyakan dari para homeless adalah laki
laki (82%) separuh baya atau sudah berumur. Homeless wanita
sangat jarang dijumpai yaitu hanya sekitar 3% saja. Jadi
pernikahan atau keluarga gelandangan hampir tidak mungkin
terjadi. Namun tentu bukan karena faktor ini satu satunya
yang menyebabkan tidak ditemukannya keluarga gelandangan
di negara ini. Kharakter khas dari penduduk di negara maju
umumnya adalah enggan memiliki anak dalam kondisi sulit
seperti situasi yang mereka hadapi saat itu. Walaupun keluarga
gelandangan hampir tidak ditemukan, jumlah homeless baru
dari tahun ke tahun tetap saja tidak pernah berkurang, bahkan
cendrung bertambah. Ekonomi jepang yang cendrung menurun
belakangan ini mungkin adalah salah satu penyebabnya.
Tidak seperti situasi di negara kita, tanpa pekerjaan
yang tetap sepertinya sangatlah susah bagi orang Jepang
untuk bisa mendapatkan rumah kontrakan. Kondisi calon penyewa
rumah yang sudah berumur dan tanpa jaminan dari pihak lain
seperti keluarga atau saudara juga membuat situasinya menjadi
semakin berat. Sebagian dari mereka yang kehilangan pekerjaan
dan tidak rela menjalani kehidupan menggelandang biasanya
memilih untuk bunuh diri. Inilah salah satu sebab tingginya
angka bunuh diri di
negara ini dan sebagian lagi tetap mencoba bertahan dalam
kerasnya dan dinginnya kehidupan di jalanan.
Pantang untuk meminta uang
Satu hal yang paling menarik menurut saya
tentang kehidupan gelandangan di Jepang adalah "pantangan"
bagi mereka untuk meminta uang. Jadi secara umum bisa saya
katakan negera mereka relatif bersih dari pengemis atau
peminta minta. Tentu saja istilah pantangaan yang saya pakai
lebih banyak karena faktor keterpaksaan belaka. Hali ini
sepertinya berkaitan dengan budaya orang jepang yang menganggap
uang harus didapat dengan satu cara yaitu bekerja. Budaya
mereka umumnya tidak mengenal kata "memberi karena
kasihan". Tentu saja, menjadi meminta uang adalah sah
sah saja semasih dilakukan tidak dengan memaksa atau menganggu
privasi seseorang, namun masalahnya siapakan yang mau memberi
? Jadi mau tidak mau, betapun miskinnya, untuk bisa hidup
merekapun terpaksa harus bekerja.
Pekerjaan yang paling banyak dilakukan
adalah mengumpulkan kardus dan kaleng aluminium bekas. Cukup
beruntung karena hampir setengah dari minuman ringan yang
dijual di negara tersebut adalah berbahan aluminium sehingga
bekas kalengnya cukup laku untuk dikumpulkan dan dijula.
Selain tempat keranjang sampah, mesin penjual minuman atau
vending macine merupakan tempat yang seakan wajib mereka
kunjungi kadang sejumlah uang kecil bisa didapatkan di sekitarnya.
Uang kembalian sering tertinggal atau lupa diambil pembeli
atau uang logam terjatuh dan menggelinding di bawah kotak
mesin. Pembeli biasa malas untuk jongkok atau mengorek ngorek
untuk mengambilnya, jadi tampaknya ini adalah rejeki para
gelandangan. Bagi mereka yang sudah sangat miskin atau terlalu
lemah untuk mendorong gerobak kardus biasanya bertahan hidup
dari makanan sisa yang didapat di keranjang sampah. Tempat
di pembuangan di sekitar rumah makan adalah tempat yang
paling disukai.
Pengemis model baru
Apakah di Jepang benar benar tidak ada peminta minta ? Meminta
uang dalam arti menengadahkan tangan di keramaian atau ditempat
umum bisa dikatakan hampir tidak ada. Namun apakah jepang
benar benar bersih dari peminta minta ? Saya benar benar
tidak percaya, dan berusaha membuktikannya, dan akhirnya
menemukannya ! Namun mereka melakukannya dengan sangat rapi
dan tersamar. Ada dua cara yang efektif dan umum dilakukan,
yaitu mencukur habis rambut di kepala dan menyamar menjadi
pendeta atau rahib Buddha. Dengan bermodalkan rambut botak,
jubah kuning dan dengan menengadahkan mankuk kecil, mereka
bisa bebas melakukannya dengan aman dari jangkauan hukum.
Apakah mereka pendeta benaran atau pendeta jadi jadian tidak
ada yang tahu. Berjam jam berdiri tanpa bergerak tentu bukan
pekerjaan yang menyenangkan, namun setidaknya masih ada
orang yang mau memberi.
Seorang rekan Jepang pernah memberitaukan
bahwa kasus biksu gadungan semacam ini pernah terungkap
dan pelaku "kreatif" ini mampu mengumpulkan uang
dalam jumlah yang cukup besar. Cara seperti ini tentu saja
sangat merusak citra rahib yang asli yang melakukan aktivias
sebagai bagian dari ritual yantu "merendahkan diri"
dengan menjadi pengemis.
Kemudian pengemis gaya lain adalah dengan
berpura pura minta sumbangan biaya pengobatan. Mahalnya
biaya pengobatan di negara tersebut membuat cara penggalangan
dana semacam ini cukup populer dilakukan di negara ini.
Masalahnya menjadi rumit karena para mafiapun ikut bermain
didalamnya. Dengan bermodalkan kotak sumbangan sepanduk
dan teriak, harapan mendapakan hasil tampaknya lebih besar.
Mereka umumnya melakukannya dengan berpasangan atau bergrup,
bahkan baru baru ini terbongkar jaringan yang lebih besar
lengkap dengan pegawai harian segala. Nah, kalau begini
siapa, yang mau memberi ?
Varian lain dari pengemis gaya baru ini mungkin masih banyak
seperti meminta sumbangan biaya perawatan anjing dll. Jumlah
penggemar biantang di Jepang yang cukup banyak tentu merupakan
lahan "usaha" yang cukup bagus bagi sebagian oknum
untuk memanfaatkan situasi ini. Namun tentu saja, perlu
di catat juga bahwa sebagian besar dari mereka mungkin resmi
dan memiliki ijin khusus sedangkan penipuan hanyalah sebagian
kasus sebagian kecil saja.
Satu satunya kelompok yang masih bisa
dipercaya saat ini adalah pengumpul sumbangan yang dilakukan
oleh kelompok anak sekolah. Dengan seragam sekolah, spanduk,
bedera,dan kotak sumbangan karton-nya, banyak orang yang
tergerak untuk memberi. Mereka akan sangat tanggap kalau
terjadi bencana alam, seperti tsunami di aceh, ataupun gempa
jogya baru baru ini.
Gelandangan model baru
Berakhirnya era Bubble
Ekonomi (baburu keiki) di era tahun 80 an sepertinya
merupakan penyumbang terbesar melahirkan kaum homeless baru.
Namun dalam dasa warsa belakangan ini golongan mereka yang
tidak memiliki rumah semacam ini bukannya berkurang namun
bahkan cendrung tetap atau bahkan mungkin bertambah. Satu
fenomena menarik dari golongan tanpa rumah ini adalah mulai
munculnya para homeless gaya baru. Usia relatif muda, penampilan
mereka bersih, rapi atau bahkan trendy jadi sama sekali
tidak tampak seperti homeless. Mereka tidak lagi memanfaatkan
emper toko atau taman sebagai tempat tinggalnya namun lebih
memilih Internet Cafe sebagai tempat tinggal favorit.
Tentu saja kalau hanya tinggal sehari
atau dua hari di tempat tersebut masih belum bisa digolongkan
sebagai homeless, karena menginap di internet cafe juga
biasa dilakukan oleh golongan masyarakat umum sebagai pengganti
hotel. Mereka juga bukan kelompok yang menginap untuk sementara
waktu, seminggu atau dua minggu karena alasan tertentu.
Untuk kasus terakhir ini mungkin lebih cocok disebut dengan
nama "netto kafe nanmin" atau pengungsi cafe internet.
Mereka tinggal di kafe internet untuk jangka waktu yang
relatif tetap dan lama, berbulan bulan atau bahkan lebih.
Seperti yang penah diliput oleh beberapa
televisi nasional, kehidupan seperti kebanyakan sudah mereka
jalankan bertahun tahun. Hal itu tentu saja memungkinkan
karena hampir semua cafe internet di negara tersebut memiliki
fasilitas yang nyaris seperti hotel. Fasilitas yang paling
dibutuhkan tentu saja shower untuk mandi, toilet dan tempat
untuk tidur. Bagian yang terakhir ini tentu saja tidak ada
namun setidaknya ada kursi atau sofa yang bisa dipakai sebagai
tempat pengganti untuk tidur. Untuk tempat penyimpanan barang,
mereka biasaya memanfaatkan jasa locker yang bisa ditemukan
di hampir semua stasiun. Dengan berbagai kemudahan seperti
ini sepertinya wajar kalau hampir semua cafe internet di
negara ini selalu penuh menjelang tengah malam sampai menjelang
pagi hari. Tentu saja yang jelas, kebanyakan dari mereka
tidak memanfaatkan untuk berinternet ria namun sebagai tempat
tidur semata. Dibandingkan dengan kasus di negara kita tentu
sedikit berbeda, karena di Jepang hampir semua rumah memiliki
sambungan internet.
Gelandangan model baru ini umumnya adalah
golongan usia muda dan tidak mempunyai pekerjaan tetap.
Seperti yang sudah saya tulis di atas, kebanyakan agen pemilik
rumah tidak akan bersedia melayani penyewa yang tidak memiliki
pekerjaan atau gaji yang tetap. Disamping itu dengan gaji
kurang dari 2 juta yen pertahun, menyewa rumah di pusat
kota tampaknya hampir tidak mungkin untuk dilakukan.
Ditulis oleh : nyoman ardika
Nagoya, August 2004
REFFERENSI :
http://saniroy.wordpress.com/2007/02/19/borok-kian-besar-homeless/
http://www.mhlw.go.jp/houdou/2003/03/h0326-5a.html
top page
|