Mengenal agama Shinto


Kuil Shinto di sebuah desa
Sumber image : keranjangkecil

Pengantar

"Shinto adalah agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Jepang. Agama ini menyembah matahari dan percaya bahwa kaisar Jepang adalah keturunan langsung dari Dewa Matahari atau Amaterasu Omikami"

Penjelasan seperti ini mungkin adalah yang paling umum yang bisa kita didapatkan tentang Shinto. Namun benarkah di era masyarakat modern sekarang ini masih ada masyarakat yang menyembah matahari ? Kemudian apakah ajaran dari agama ini, nama nabi, kitab suci-nya ?

Berangkat dari rasa penasaran yang besar, membuat saya mencoba untuk mencari jawaban dan menuliskannya buat anda. Sumber artikel sebagian besar saya tulis besar berdasarkan pengalaman dan pengamatan pribadi, berbaur dan  merasakan langsung tradisi Shinto selama beberapa tahun dan hanya sebagian kecil saja yang menggunakan referensi buku dan literatur.  Karena kebetulan saya dibesarkan di masyarakat yang juga memiliki kepercayaan yang berakar dari animisme dan dinamisme maka untuk memahami tentang agama Shinto menjadi relatif mudah untuk saya pelajari.

 

Daftar isi

01. Sejarah dan gambaran umum
02. Shinto dan Ajarannya
03. Konsep Tuhan menurut Shinto
04. Konsep Sorga, neraka dan alam akhirat
05. Konsep Doa
06. Shinto adalah agama ?
07. Lima Kelompok Shinto
08. Kuil Shinto
09. Pendeta Shinto
10. Festival dan Perayaan
11. Shinto di masa sekarang
12. Penutup dan Kesimpulan

SEJARAH DAN GAMBARAN UMUM


Shinto mempunya sejarah yang cukup panjang dan tua yaitu dimulai dari masa Jomon Period (11.500-300 BC) ada indikasi masyarakat jaman itu sudah menjalankan ritual Samanisme yang mirip dengan ritual Shinto sekarang. Kemudian pada masa Kofun Period (250-552 CE) mulai ditemukan catatan yang lebih lengkap tentang kepercayaan ini. Kuil kuno Ise dan kuil Izumo Taisha yang terletak di barat daya dan di timur laut kepulauan Jepang adalah beberapa di antara kuil yang dibangun pada masa ini dan masih berdiri hingga kini.

Bahkan yang mungkin paling unik adalah tempat suci agama Shinto pada awalnya kebanyakan tidak memiliki bangunan apapun jadi hanya berupa tanah kosong, hutan, sungai ataupun gunung dan pendirian bangunan ini dimulai karena pengaruh dari agama Buddha yang mulai masuk pada masa itu.

Kemudian pada masa Restorasi Meiji, Shinto ditetapkan menjadi agama resmi negara namun setelah perang dunia kedua Jepang, status Shinto sebagai agama negara berakhir karena Jepang beralih menjadi negara sekular dan agama dianggap tidak lebih sebagai kegiatan budaya. (Sumber : Wikipedia)

Shinto adalah istilah / kata baru

Shinto berasal dari kata Shin dan To, yaitu kombinasi dua huruf kanji yang berarti Jalan Kami (Tuhan atau Dewa). Nama ini mulai dipakai pada abad ke 6, bersamaan dengan kedatangan agama Buddha, untuk membedakan dengan jelas agama lama dengan agama baru. Jadi jelas sekali, kalau masyarakat Jepang dulu menjalankan kepercayaannya apa adanya dan tanpa nama atau istilah apapun. (Dari berbagai sumber)

 

SHINTO DAN AJARANNYA

Tidak mengenal ajaran apapun

Shinto adalah agama kuno yang merupakan campuran dari animisme dan dinamisme yaitu suatu kepercayaan primitif yang percaya pada kekuatan benda, alam atau spirit. Kepercayaan tua semacam ini biasanya penuh dengan berbagai ritual dan perayaan yang biasanya berhubungan dengan musim, seperti musim panen, roh, spirit dll.

Layaknya suatu suatu kepercayaan yang berakar dari Animisme, Shinto sama sekali tidak memiliki ajaran khusus yang harus dipelajari. Shinto juga tidak memiliki kitab suci, simbol, kiblat dan juga nabi sebagai penemu atau penyebar agama pertama kali, jadi Shinto lahir dan berkembang secara alami di masyarakat.

Sedangkan khusus tentang ajaran Shinto yang menyebutkan Kaisar sebagai Dewa Matahari sepertinya mulai muncul dan populer pada masa Periode Meiji (1868-1912) yang pada saat itu menjadikan Shinto sebagai agama resmi negara dan Kaisar sebagai Living God atau dewa yang hidup di dunia. Jadi dalam kasus ini lebih kental unsur politisnya dibanding agama.

Kemudian penjelasan tentang proses terbentuknya alam semesta, Kojiki, Izanami dan Izanagi hanyalan sekedar mityologi semata. Jadi kasusnya jelas sangat berbeda dengan kepercayaan agama semitis, yaitu Adam dan Hawa yang mutlak harus dipercayai.

Cukup banyak artikel yang menyebutkan Shinto sebagai agama yang menyembah leluhur. Pendapat yang kurang tepat tentu saja. Kuil Shinto sama sekali tidak berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk leluhur. Shinto sama sekali tidak mengenal upacara kematian. Semua makam dan ritual kematian di negara tersebut menggunakan tradisi Buddha. Khusus untuk beberapa kuil tertentu yang termasuk kelompok Imperial Shinto seperti Yasukuni adalah perkecualiannya.Di kuil tersebut dibangun untuk menghormati keluarga kaisar dan para tentara korban perang.


KONSEP TUHAN MENURUT SHINTO

Kamisama

Konsep Tuhan dalam kepercayaan Shinto adalah sangat sederhana yaitu : " Semua benda di dunia, baik yang bernyawa ataupun tidak, pada hakikatnya memiliki roh, spirit atau kekuatan jadi wajib dihormati". Kekuatan supernatural ini disebut dengan istilah KAMI, kemudian ditambahkan kata akhiran SAMA, bentuk hormat untuk nama orang, atau dewa sehingga menjadi KAMISAMA.

Sejak awal sebenarnya secara natural manusia sudah menyadari bahwa mereka bukanlah mahluk kuat dan di luar mereka ada kekuatan lain yang lebih superior yang langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Pengakuan, kekaguman, ketakutan dan juga kerinduan pada Spirit atau "Kekuatan Besar" yang disebut dengan nama Kamisama itu diwujudkan dalam bentuk tarian, upacara dan festival budaya.

Jadi Kamisama penjelasan mudahnya adalah Tuhan bagi orang Jepang. Kamisama sebagai Tuhan, hidup di segala tempat dan memiliki nama sesuai dengan benda yang ditempatinya. Tuhan yang berdiam di gunung diberi nama Kami no Yama, kemudian ada Kami no Kawa (Tuhan sungai), Kami no Hana (Tuhan bunga).

Pada masa Restoresi Meiji (1868-1912), mulai berdiri banyak sekte baru dari Shinto seperti contohnya Tenrikyo dan Kenkokyo yang biasanya digolongkan sebagai agama baru atau Shinshūkyō. Salah satu keunikan dari Shinto baru ini adalah menggolongkan diri dengan tegas sebagai penganut monotheisme. Mereka juga memiliki pendiri yang diakui sebagai guru atau nabi dan juga mempunyai ajaran layaknya agama modern. Ajarannya umumnya sangat sederhana serta lebih banyak membahas tentang etika dan perbaikan prilaku bukan dogma atau doktrin, jadi sepertinya lebih dekat ke arah ajaran Buddha atau Confucianisme.

Jadi Shinto adalah agama polytheisme atau monotheisme ?

Bagian ini sepertinya cukup sulit untuk dijawab. Pada intinya agama Shinto percaya pada keberadaan Kamisama. Apakah Kamisama adalah Satu atau Banyak tidaklah terlalu penting bagi mereka. Bagi kebanyakan orang Jepang, perdebatan antara monothisme dan polytheisme adalah sudah selesai dan hanya cocok digunakan pada masa lalu. Jaman sekarang mana ada orang percaya pada batu atau pohon besar sebagai Tuhan ?

Bagaimana dengan Dewa Matahari atau Amaterasu Omikami ?

Ini mungkin adalah bagian yang paling menarik karena paling banyak disebut dalam pembahasan tentang agama Shinto namun nyaris tidak mudah "ditemukan" dalam situasi riil. Perwujudan dewa ini bisa ditemukan dalam sejumlah buku ataupun lukisan kuno namun tidak akan kita temukan di setiap kuil Shinto. Menariknya agama ini tidak mengenal tradisi pemujaan patung, jadi altar utama kuil tidak akan ditemukan gambar ataupun arca apapun apalagi gambar dewa Matahari. Satu satunya kuil yang saya ketahui khusus dibangun untuk menghormati dewa ini hanyalah kuil Ise Jingu yang notabene merupakan kuil milik keluarga kerajaan. Jadi mungkin dari sinilah mulai muncul penjelasan bahwa Shinto adalah pemuja dewa matahari.

Hubungan antara manusia dan Tuhan

Hubungan antara Kami dengan manusia menurut konsep Shinto juga cukup unik. Tuhan hidup di laut, sungai, sawah dll atau dengan kata lain hidup tidak jauh dari kehidupan mereka sehari hari. Jadi Tuhan bagi mereka adalah bagian dari kehidupan yang tidak terpisahkan. Jadi konsep Tuhan di atas atau langit dan manusia di bumi sepertinya kurang populer untuk kepercayaan Shinto.

Mikoshi atau Dashi misalnya sebagai perwujudan dari kereta bagi Kami, yang digotong beramai ramai selama festival di kuil mungkin adalah salah satu contoh menarik. Simbul Tuhan atau "Kereta Tuhan" ini tidaklah diarak dengan hormat dan khidmad namun diguncang guncangkan, dibenturkan, dibenamkan ke laut serta dinaiki beramai ramai bahkan diduduki pada bagian atapnya oleh beberapa orang selama proses prosesi. Hal yang cukup aneh menurut saya. "Apakah Tuhannya orang Jepang tidak marah ?"

Namun kalau kita mengetahui konsep Tuhan dalam agama Shinto maka sepertinya keanehan itu akan terjawab. Konsep kutukan, bencana dan kemarahan oleh Kami sepertinya kurang populer dalan mythiolgi Jepang. Jadi pada kasus bencana alam seperti gempa bumi, angin topan, banjir atau gagal panen yang umum terjadi cendrung tidak akan dikaitkan dengan kemarahan atau kutukan atau kemarahan dari Tuhan, era kiamat sudah dekat dll. Wajar saja karena mereka tidak mengenal konsep hari kiamat.

 

Catatan :

Kata "Kami" sebetulnya mempunyai arti yang cukup komplek. Ada beberapa kata lain sebagai terjemahannya (sesuai kamus), yaitu : god, lord, heaven, father, godness, divine, creator, deity, providential, spiritual dll. Dalam percakapan sehari hari kata Kami juga kadang berarti di atas, berkuasa, superior dihormati karena kemampuan dan ilmunya dan sejenisnya. Sehingga seorang ekspart atau ahli dan dihormati di bidang tertentu, tokoh olah raga dan pelanggan atau pembeli dalam kontek bisnis juga disebut dengan "Kami". Sedangkan tambahan kata "Sama" adalah sebutan paling hormat untuk nama orang, pengganti kata "San, Chan atau Kun".

KONSEP SORGA, NERAKA DAN ALAM AKHIRAT

Konsep sorga dan neraka ataupun ajaran tentang kehidupan alam akhirat sepertinya adalah hal yang umum ditemukan pada ajaran agama ataupun kepercayaan primitif sekalipun. Shinto sepertinya memiliki tradisi yang sedikit menyimpang. Konsep tentang sorga dan neraka hampir tidak disentuh sama sekali dalam kepercayaan Shinto. Hal ini bisa dilihat dari hampir tidak ditemukannya ada ritual upacara kematian pada tradisi Shinto. Seperti yang telah saya sebutkan di atas, ritual dan tata cara pemakaman di Jepang sepenuhnya dilakukan dengan tata cara agama Buddha dan sisanya menggunakan ritual Kristen. Kuburan dan tempat makam juga umumnya berada di bawah organisai kedua agama tersebut.

Sepertinya ritual Shinto lebih difokuskan pada kehidupan duniawi atau kehidupan sekarang terutama yang berhubungan dengan alam khususnya keselaran antara manusia dengan alam sekitarnya.

KONSEP DOA DAN SEMBAHYANG

Tidak mengenal konsep ibadah

Shinto kurang begitu akrab dengan aktivitas ibadah dalam arti menyembah dengan tujuan memuji dan mengagungkan kebesaran Kamisama atau Tuhan. Mereka cendrung lebih dekat dengan konsep "doa" yaitu menyembah dengan tujuan "meminta sesuatu" kepada Tuhan seperti agar lulus ujian, diterima bekerja di perusahaan tertentu, dikaruniai kesehatan, umur panjang dan berbagai permintaan yang bersifat duniawi. Dengan konsep ini tentu saja ibadah bukanlah sesuatu yang wajib dan menjadi keharusan.

Kebanyakan tempat ibadah di negara ini, baik Jinja ataupun Tera (Buddha) adalah berfungsi juga sebagai tempat wisata. Jadi kebanyakan pengunjung menjadikannya saat berwisata sekaligus sebagai kesempatan untuk berdoa. Jadi orang yang datang ke kuil dengan niat dari awal untuk ibadah sepertinya sangat jarang ditemukan. Namun aktivitas keseharian yang sangat sibuk membuat aktivitas wisata semacam ini hampir tidak memungkinkan untuk dilakukan dalam banyak kesempatan.

Berdoa cukup setahun sekali

Seperti yang saya telah tulis di atas, berdoa bukanlah sebuah keharusan sehingga kebanyakan orang sangat jarang berkunjung ke kuil kecuali saat ada perayaan kuil atau saat tahun baru. Jadi secara umum bisa dikatakan kebanyakan orang Jepang berdoa cukup hanya setahun sekali yaitu saat tahun baru. Sehingga bukanlah pemandangan aneh kalau perayaan tahun baru di negara ini cendrung sepi dari hinggar bingar pesta atau perayaan karena kebanyakan penduduk khususnya golongan muda melewatkan pergantian tahun di kuil dengan berdoa. Keramaian ini bisanya akan berlanjut sampai beberapa hari setelah tahun baru. Pada saat itu kita bisa menyaksikan puluhan bahkan ratusan ribu orang yang datang memenuhi memadati areal kuil.(Baca : Keunikan perayaan tahun baru di Jepang ).

SHINTO ADALAH AGAMA ?

Dari sekilas uraian saya di atas sepertinya mungkin bagi sebagian pembaca sudah cukup untuk membuat kesimpulan kecil bahwa Shinto bukanlah suatu agama namun hanyalah suatu budaya atau kebiasaan saja. Apalagi kalau kita memakai kriteria umum yang dipakai untuk menggolongkan suatu kepercayaan bisa disebut sebagai agama yaitu memiliki nabi sebagai penerima wahyu serta memiliki kitab suci yang memuat ajaran ataupun petunjuk lengkap dari kepercayaan tersebut, jelas Shinto tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai agama. Hal ini juga sepertinya sudah disadari oleh orang Jepang dari awal yang bisa kita lihat dengan sangat jelas dari bahasa yang mereka pergunakan.

Dalam bahasa Jepang, dikenal kata Bukkyo yang artinya ajaran Buddha. Jadi kata Kyo yang artinya ajaran dipakai juga untuk ajaran lain seperti KirisutoKyo (ajaran Kristen), IsuramuKyo (ajaran Islam) dll, sedangkan kata Shinto sama sekali tidak ditambahkan dengan akhiran Kyo. Inilah dasar dan alasan yang paling tepat untuk menyebutkan bahwa Shinto tidak memiliki ajaran apapun.

Kata Kyo juga sekaligus berarti agama, sehingga sebutan agama Shinto sendiri sebetulnya kurang tepat, karena dalam bahasa Jepang sama sekali tidak tidak dikenal kata ShintoKyo. Jadi istilah ajaran Shinto ataupun ataupun agama Shinto jelas salah kaprah.

Bahkan yang lebih unik lagi adalah kata Shinto itu sendiripun hampir tidak pernah disebut ataupun digunakan dalam percakapan sehari hari. Sebutan ini yaitu agama Shinto hanya umum digunakan oleh orang asing. Demikian juga dengan nama tempat ibadah Shinto disebut dengan Jinja dalam bahasa Jepang.

Beberapa abad lalu, kata Shinto dipakai oleh pengikut Buddha untuk menyebut kepercayaan penduduk asli, sedangkan saat ini kata Shinto dipakai oleh orang asing. Kata Jinja misalnya diterjemahkan menjadi kuil Shinto (Shinto Shrine). Kata ini jelas tidak ada bahasa Jepang, karena adanya cuma Jinja saja. Nah bingung kan ! Bagi orang Jepang sendiri sepertinya tidaklah membingungkan. Mereka menjalankannya apa adanya tanpa pernah dipusingkan dengan istilah ataupun sebutan, agama atau kebiasaan, agama wahyu atau agama kuno.

Jadi atas dasar pemahaman sepertinya inilah yang membuat hampir bisa dipastikan bahwa tidak akan  ada orang Jepang yang mengaku beragama Shinto ketika ditanya tentang agama. Mereka umumnya akan menjawab dengan jawaban yang nyaris seragam yaitu tidak menganut agama apapun, free religion atau yang lebih populer dan paling banyak digunakan adalah Agnostik. Jadi sedikit janggal ketika istilah Agama Shinto malah populer di luar Jepang dan sampai hampir semua buku pelajaran di sekolah asing menyebutkan bahwa mayoritas orang Jepang adalah beragama Shinto. Agama yang sama sekali asing di negara Jepang 

Shinto adalah pemuja alam

Sinto adalah (agama) pemuja alam. Sebutan ini sepertinya yang paling tepat untuk dipakai. Hal ini bisa dilihat dari tradisi Shinto yang memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada alam. Pohon besar misalnya tidak boleh sembarangan ditebang karena dipercaya ada Kami yang berdiam di dalamnya. Kebanyakan penduduk jaman dulu akan taat dan tidak merusak tempat alam atau bahkan kadang dengan jalan tidak memasuki hutan, gunung bahkan pulau tertentu karena dipercaya adanya Kami yang bersemayam di tempat tersebut. 

Lahirnya seni Ikebana (merangkai bunga), Bonsai (mengkerdilkan tumbuhan) dan seni taman ala Jepang yang memadukan tanaman, batu dan air juga (sepertinya) tidak lepas dari philosophy Shinto.

Dengan konsep kepercayaan yang sangat sederhana seperti ini bisa dibilang mereka cukup termasuk sukses menjaga kelestarian alamnya. Sekedar catatan tambahan, saat ini tempat yang bisa dihuni di Jepang hanyalah 30 % dari luas dataran yang ada, selebihnya, 70% masih dibiarkan berupa gunung dan bukit. Jalan layang atau kereta tidak dibangun tidak dengan merobohkan bukit tapi dengan trowongan menembus bukit. Kebersihan air sungai dijaga sampai aliran air sungai di pusat kota sekalipun.

Walaupun semua data di atas tidak menjelaskan secara langsung hubungan antara kedua variabel ini secara ilmiah, namun sepertinya menurut saya tidak lepas dari konsep budaya Shinto. Kuil Shinto juga umumnya selalu dipenuhi dengan sejumlah pohon besar yang sudah berumur ratusan tahun. Bukan pemandangan yang aneh di negara ini kalau seandainya suatu kali Anda akan melihat sebuah pohon besar yang tumbuh gagah tepat di tengah jalan serta sebuah kuil kecil didekatnya yang berdiri entah sejak kapan, tanpa ada yang berani atau berniat menggusurnya.

Kemudian contoh lainya yang lebih mudah adalah penghormatan mereka yang tinggi terhadap makanan khususnya beras. Sehingga hal inilah yang menyebabkan kebanyakan orang Jepang yang pantang untuk menyisakan nasi bahkan dimakan sampai butir terakhir karena dianggap tidak menghormati Spirit (roh) yang hidup di dalamnya. (Kepercayaan Indonesia lama, khususnya di Jawa dan Bali juga mengenal ritual penghormatan untuk padi atau beras sebagai tempat bersemayam Dewi Sri atau Dewi Uma).

Di beberapa kuil seperti Sumiyoshi Taisha di Osaka contohnya, memiliki tradisi upacara tanam padi pada setiap bulan July dan tradisi yang sudah berumur sangat tua ini masih dilestarikan hingga kini walaupun masyarakat disekitar kuil sebagian besar sudah tidak masih berprofesi sebagai petani. Untuk menjaga agar tradisi ini tetap lestari, beberapa petak sawah masih tetap dipertahankan. Ini adalah salah satu konsep perlindungan alam atau sawah yang unik. Di beberapa daerah lain, upacara semacam ini juga bisa ditemukan.

5 KELOMPOK SHINTO

Secara umum Shinto bisa dikelompokkan menjadi 4 bagian atau kelompok yang masing masing mempunyai keunikannya tersendiri. (Sumber diambil dari Wikipedia). Catatan : pengelompokan ini bukanlah semacam sekte atau aliran namun hanya sekedar penjelasan textstual yang umum ditemukan dalam literatur ilmiah saja sedangkan dalam kondisi nyata masyarakat sehari hari istilah semacam ini sama sekali tidak digunakan. Jadi sub ini hanya sebagai penjelasan tambahan saja. Selengkapnya adalah sebagai berikut :

  1. Imperial Shinto (Kyūchū Shinto atau Koshitsu Shinto)
    Shinto kelompok ini sangat eksklusif dan tidak umum ditemukan. Memiliki beberapa kuil saja yang kalau tidak salah 5 buah di seluruh negeri. Nama kuil ini biasanya berakhir dengan nama Jingu, misalnya Heinan Jingu, Meiji Jingu, Ise Jingu dll. Umumnya kuil ini berfungsi sebagai tempat untuk menghormati leluhur khususnya keluarga kerajaan serta tempat untuk menghormati Dewa Matahari. Jadi sepertinya sebutan agama Shinto sebagai penyembah Matahari berakar dari kelompok.
     
  2. Folk Shinto (Minzoku Shinto)
    Jadi Folk Shinto adalah kepercayaan Shinto yang meliputi cerita tua, legenda, hikayat dan cerita sejarah seperti mityologi tentang Kojiki, terbentuknya negara Jepang dll. Jadi kelompok Shinto ini sangat unik yang bisa dilihat pada kuil yang mereka buat. Jadi jangan kaget kalau Anda menemukan kuil yang penuh dengan ornament dan pernak pernik kucing atau binatang dan benda lainya karena sejarah pendiriannya yang memang berkaitan dengan binatang tersebut. Contoh lain adalah kuil Kibitsu Jinja yang terletak di daerah Okayama, Jepang tengah yang khusus dibangun untuk menghormati tokoh utama dalam cerita rakyat yaitu Momo Taro.
     
  3. Sect Shinto (Kyoha atau Shuha Shinto)
    Shinto kelompok ini mulai muncul pada abad ke 19 dan sampai saat ini memiliki kurang lebih 13 sekte. Dua diantara sekte ini yang cukup banyak pengikutnya adalah Tenrikyo atau Kenkokyo.
     
  4. Ko Shinto
    Kelompok ini sangat tidak umum ditemukan jadi saya sangat kesulitan untuk menemukan contohnya sehingga penjelasannya saya salin secara mentah dari sumber aslinya yang mengatakan aktivitas kelompok Shinto ini fokus utamanya adalah penyembuhan (healing) dan meditasi.
     
  5. Shrine Shinto (Jinja Shinto)
    Hampir semua kuil (SHinto) yang ada saat ini hampir sebagian besar dimasukkan ke kelompok terakhir ini.

Jadi dari 5 pengelompokan ini seperti sedkit menjadi jelas bahwa ajaran Shinto yang menjelaskan tentang Dewa Matahari hanya ada pada kelompok Imperial Shinto saja yang notabene adalah kuil milik kerajaan, demikian juga dengan berbagai kisah dan legenda seperti Kojiki hanya ada pada kelompok Folk Shinto saja. Jadi penjelasan yang mengatakan Shinto adalah menyembah Dewa Matahari jelas kurang tepat.

 

KUIL SHINTO


Terbuka untuk semua orang

Kuil Shinto menganut konsep kebebasan yaitu bebas dari simbul dan doktrin agama. Siapapun bisa bebas untuk berkunjung tanpa ada kewajiban untuk harus berdoa. Hampir semua bagian dalam areal kuil bisa dimasuki ataupun difoto tanpa ada larangan ataupun pertanyaan apapun apalagi pertanyaan yang menjurus pada hal agama. Dari sebagian besar berbagai tempat ibadah yang pernah saya kunjungi sepertinya tidak ada yang lebih bebas dibandingkan dengan kuil Shinto. Diperkirakan saat ini ada sekitar 80 ribuan kuil yang ada di seluruh negeri dan semuanya tergabung dalam satu organisasi besar yaitu Association of Shinto Shrines.

Sederhana dan menyatu dengan alam

Berbeda dengan kuil Buddha, atau Tera yang cendrung megah besar dengan ornament dan koleksi barang berharga dan barang seni melimpah, Kuil Shinto atau Jinja cendrung adalah kebalikannya. Bangunannya cendrung sangat sederhana dan menyatu dengan alam. Dalam altar utama hampir kosong melompong, tidak ada arca, patung atau benda tidak ada benda apapun yang harus disembah sebagai perwujudan Tuhan. Dalam literatur sering disebutkan bahwa di dalam altar terdapat tiga benda utama yaitu cermin, pedang dan permata sebagai simbul dari refleksi diri, kekuatan dan cahaya. Namun ketiga benda itu hampir tidak akan terlihat karena tidak dipajang dengan posisi biasa. Kebanyakan masyarakat umum sepertinya tidak pernah terlalu peduli dengan hal ini. Yang paling mudah terlihat hanyalah guntingan hiasan kertas putir dan sebuah kotak besar tempat menampung uang logam yang dilemparkan peziarah sebelum berdoa yang terletak tepat di depan altar utama.

Banguan kuil umumnya tidaklah besar atau bahkan bisa jadi sangat kecil tidak lebih dari satu meter namun arel kuil bisa jadi sebaliknya karena seluruh gunung ataupun hutan adalah termasuk areal kuil itu sendiri. Di beberapa kuil tertentu yang terletak di atas gunung, di tengah laut, danau ataupun tempat yang sulit di jangkau, biasanya akan dibuatkan banguan atau kuil lain di tempat yang mudah di jangkau. Jadi kuil ini berfungsi sebagai penghubung ke kuil utama jadi peziarah tidak perlu susah payah mendaki gunung atau men yang berjumlah sampai ribuan tangga, seperti Kuil Kotohiragu yang memiliki 1.368 tangga. Konsep sepertinya cukup unik dan sepertinya jarang ditemukan pada kepercayaan atau agama lain.

Tata cara berdoa menurut Shinto

Mengenai tata cara sembahyang atau doa dalam kuil Shinto sangat sederhana yaitu melemparakan sekeping uang logam sebagai sumbangan di depan altar, mencakupkan kedua tangan di dada dan selesai. Jadi semua proses berdoa yang dilakukan dengan berdiri ini tidak lebih dari sepuluh detik. Doa dilakukan tidak mengenal hari atau jam khusus jadi bebas dilakukan kapan saja. Sedikit catatan, bisa saya sebutkan bahwa tata cara doa di kuil Shinto dengan kuil Buddha sangatlah mirip. Yang sedikit berbeda adalah di kuil Buddha tangan dicakupkan ke depan dada dengan pelan, hening dan tanpa suara, sedangkan kuil Shinto adalah sebaliknya yaitu mencakupkan tangan dengan keras sehingga menghasilkan suara sebanyak dua kali (mirip tepuk tangan).

Walaupun aturan tata cara berdoa ini bisa disebut baku namun sama sekali tidaklah bersifat mengikat. Berdoa tepat di depan altara utama, dari halaman kuil, dari luar pintu gerbang, dilakukan tidak dengan mencakupkan tangan namun membungkukan badan atau bahkan tidak berdoa sama sekali bukanlah masalah sama sekali.

Pintu gerbang yang unik

Salah satu ciri yang sangat khas dari Jinja adalah bangunan pintu gerbangnya yang terdiri dari dua tonggak kayu atau batu (sekarang kebanyakan berbahan beton bertulang) yang biasanya berwarna jingga. Bangunan ini yang disebut Torii ini bisa ditemukan hampir disetiap sudut dan pelosok Jepang bahkan di tempat terpencil, di puncak gunung ataupun di tengah hutan, di tengah goa atau bahkan di tengah atau dasar laut Klik berbagai photo. Pintu gerbang ini juga kadang di bangun tidak persis di depan kuil namun beberapa ratus meter dari kuil utama sebagai bertanda bahwa tidak jauh dari tempat itu berdiri sebuah kuil Shinto.

Namun ada satu hal yang perlu dicatat disini adalah setiap Jinja pasti memiliki Torii namun tidak semua kuil yang berpintu gerbang Torii adalah kuil Shinto (Jinja). Hal ini disebabkan karena ternyata pintu gerbang model ini juga di adopsi oleh beberapa Tera atau kuil Buddha sehingga sama sekali sekali lagi tidak bisa disimpulkan bahwa bangunan berpintu gerbang Torii pasti berarti kuil Shinto.

Kuil penjaga desa

Biasanya di tengah pemukiman penduduk berdiri satu kuil yang berfungsi sebagai kuil penjaga daerah yang sebagai tempat ibadah umum oleh penduduk daerah tersebut. Anggapan sebagian orang asing yang mengatakan bahwa orang Jepang hanya akan berdoa di kuil penjaga yang ada di wilayah atau desanya sendiri dan tidak akan berdoa di kuil penjaga desa atau tempat lain, sepertinya adalah anggapan yang kurang tepat. Kalau dikaitkan dengan perayaan upacara kuil (matsuri) hal itu mungkin saja benar karena umumnya hanya penduduk desa yang bersangkutan hanya akan ikut perayaan yang diselenggarakan di desanya sendiri dan tidak akan ikut di perayaan kuil desa lain. Namun dalam hal berdoa setahu saya, sepertinya batasan seperti itu tidaklah ada.

Tidak ada pembangunan tempat ibadah baru

Satu hal lagi yang paling menarik dari Shinto adalah hampir tidak pernah adanya pendirian kuil baru di dalam negeri. Semua bangunan kuil ataupun Tera (untuk agama Buddha) yang ada sekarang ini adalah banguan lama atau kuil baru hasil renovasi dari kuil lama. Sehingga bukan pemandangan aneh kalau pemukiman kota baru hampir bersih dari banguan tempat ibadah Shinto maupun Buddha namun yang ada dan mudah ditemukan justru adalah bangunan gereja atau bahkan mungkin mesjid.

PENDETA

Ketika kita memasuki kuil Shinto, umumnya kita akan disambut oleh seorang atau sekolempok gadis muda berpakaian lebar berwarna putih bersih dan rok lebar berwarna merah menyala menutup sampai mata kaki. Rambut lurus sisir rapi dan diikat lurus kebelakang. Mereka adalah orang yang mengabdikan diri untuk kuil dan dinamai dengan sebutan Miko. Tugas utama mereka adalah memimpin ritual tertentu, menari dan juga sekaligus juga sebagai sebagai penjual tiket masuk, penjual Omamori (jimat keberuntungan) serta menyapu atau menjaga kebersihan kuil. (Note : bersih bersih dianggap juga sebagai bagian dari ritual).

Status untuk menjadi seorang Miko cukup unik karena dituntut harus masih gadis. Jadi adalah hal umum kalau profesi ini cendrung hanya dijalankan selama beberapa tahun saja dan harus mengundurkan diri setelah berkeluarga. Satu catatan kecil yang perlu saya tulis adalah status mereka sebagai pelayan kuil atau milik Kamisama, jadi mencoba menyentuh atau mengajak kenalan adalah sangat tidak umum dilakukan.

Kemudian untuk pendeta pria dikenal dengan nama Kannushi mempunyai tugas yang kurang lebih sama dengan pendeta wanita. Karena Shinto tidak mengenal ajaran maka tugas sebagai penceramah agama, khotbah dan sejenisnya tentu saja tidak ada.

 

FESTIVAL DAN PERAYAAN

Festival dan perayaan atau yang dikenal dengan nama Matsuri dalam bahasa Jepang adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan ritual Shinto. Bagi masyarakat umum, matsuri dianggap tidak lebih dari perayaan budaya tahunan belaka. Masing masing kuil mempunyai matsurinya sendiri sendiri dan tiap kuil ataupun daerah yang satu dengan daerah yang lain mempunyai keunikannya perayaannya sendiri sendiri. Perayaan matsuri yang bersifat nasional seperti halnya hari raya agama yang kita kenal sama sekali tidak dijumpai di Jepang.

Kebanyakan festival dilaksanakan pada musim panas sekitar bulan July dan Agustus dan jatuh pada hari minggu sesuai dengan kalender masehi. Bulan ini juga merupakan bulan liburan anak sekolah, jadi festival dipastikan akan dipenuhi oleh para remaja dan anak anak. Beberapa kuil tertentu khusunya untuk daerah Kyoto umumnya masih menyelenggarakan matsurinya menurut kalender aslinya jadi dipestikan perayaan akan berlangung pada hari kerja. Hal yan aneh tentu saja menurut tradisi Jepang modern.

Beberapa festival tertentu yang bisa disebut sangat megah yang melibatkan peserta dalam jumlah besar dan tentu saja tidak ketinggalan jumlah penonton yang bisa mencapai jutaan orang. Empat dari sepuluh perayaan besar yang bisa saya catat adalah Gion matsuri Kyoto, Tenjin matsuri Osaka, Kishiwada matsuri Osaka, Kanda matsuri Tokyo dan Takayama matsuri Takayama.

Kebanyakan dari perayaan ini mempunyai umur atau sejarah yang sangat tua dan panjang serta sudah dijalankan secara turun temurun sejak ribuan tahun dan hampir tanpa terputus sama sekali kecuali ketika masa perang dunia kedua. Seiring perkembangan jaman, waktu dan peran serta warga menjadi semakin terbatas sehingga peran serta penduduk luar desa atau daerah sering sangat diharapkan. Sebagai contohnya adalah perayaan terbesar di Jepang yaitu Gion Matsuri yang melibatkan banyak penduduk luar daerah atau bahkan orang asing pada setiap event tahunannya. Hari perayaan juga kebanyakan sudah disesuaikan mengikuti perkembangan jaman yaitu dilangsungkan pada akhir pekan, seperti yang sudah saya tulis di atas.


SHINTO DI MASA SEKARANG

Sangat menarik tentu saja karena di saat kebanyakan masyarakat modern dan "beradab" mulai meninggalkan kepercayaan kuno semacam Animisme (baca: Shinto), masyarakat Jepang justru tetap setia mempertahankan dan melestarikannya. Ditengah gencarnya serbuan agama baru yang salah satunya menawarkan monotheisme sebagai salah satu isu utamanya sepertinya kurang begitu menarik minat kebanyakan orang Jepang.. Mengapa Shinto masih tetap eksis di Jepang, beberapa alasan yang bisa saya kemukakan adalah sebagai berikut :

Menerima ajaran baru tanpa harus membuang kepercayaan lama

Konsep monotheisma salah satu contohnya sepertinya dewasa ini sudah diterima secara luas oleh kebanyakan orang Jepang. Namun cara pererimaan konsep baru ini tergolong unik, yaitu bukan dengan cara membuang kepercayaan lama namun cukup hanya "memperbaiki dan merevisi" konsep polyteisme saja. Mereka sudah mengenal konsep Kami yang artinya Tuhan.

Karena ajaran Shinto yang tidak "mengenal ajaran", buku kitab suci dan juga nabi atau pemimpin agama, membuat mereka mudah beradaptasi mengikuti perkembangan terbaru, termasuk dengan "seenaknya" mengganti polyteisme menjadi konsep monotheisme. Sebutan Tuhan Pohon, Tuhan Bunga ataupun Tuhan Batu sekarang ini hanya tinggal sejarah saja yang sudah lama ditinggalkan. Jadi pada masa sekarang ini beberapa misi penyebaran agama baru yang masih mengandalkan monotheisme sebaga isu utama sepertinya hampir tidak berguna sama sekali dan menurut saya metode ini hanya cocok di diterapkan pada masa lalu. Dalam masyarakat modern sepertinya Jepang, sepertinya tidak ada orang yang masih menganggap matahari sebagai Tuhan.

Mirip dengan transkrip Hindu kuno yang menyebutkan "Hanya ada satu Tuhan tapi orang bijaksana menyebutkannya dengan banyak nama". Sepertinya konsep ini dimiliki juga oleh Shinto. Dewasa ini Kata "Kamisama" seakan sudah menjadi sebutan baku untuk kata Tuhan dan sepertinya untuk agama baru semacam agama Kristenpun harus "mengalah" dengan memakai terjemahan yang sama untuk menunjuk kata Tuhan. Shinto saat ini kebanyakan disebut sebagai No Religion, yaitu suatu konsep baru yaitu "bermoral dan beretika tanpa harus beragama atau Percaya pada Tuhan tanpa harus beragama"

Shinto dianggap menjunjung tinggi kebebasan

Kebebasan yang dimaksud disini adalah dalam arti luas khususnya dalam hal agama dan kepercayaan. Seperti yang sudah ditulis sebelumnya bahwa tidak ada keharusan bagi seorang pemeluk Shinto untuk mendatangi kuil dan juga tidak ada keharusan untuk berdoa atau sembahyang di dalamnya dan dilain pihak mereka juga bisa bebas memasuki atau bahkan berdoa di tempat agama lain tanpa hambatan karena Shinto sendiri tidak memiliki ajaran untuk mengharuskan ataupun melarang hal itu. Hal ini sering dianggap sebagai salah satu kelebihan yang tidak dimiliki oleh ajaran agama baru.

Orang Jepang sama sekali tidak membutuhkan agama dan sepertinya Shinto sangat sesuai dengan keinginan mereka karena dari awal Shinto itu sendiri bukanlah agama dan kuil itu sendiri sering dianggap sebagai simbul kebebasan yaitu bebas dari simbul, doktrin dan dogma agama.

Menjunjung tinggi toleransi

Ketaatan yang tinggi terhadap suatu agama atau kepercayaan bisa melahirkan kefanatikan. Kefanatikan dalam satu sisi bisa bermakna positif namun bisa juga sebaliknya. Karena agama di Jepang dianggap tidak lebih dari kebiasan, tradisi atau budaya semata maka sifat fanatik yang berlebihan terhadap agama tertentu khususnya Shinto nyaris tidak ada. Agama apapun bisa berkembang dengan bebas dan damai di negara tersebut tidak terkecuali.

Pluralisme agama sepertinya nyaris diterima tanpa ada hambatan berarti. Banguan kuil Buddha dan Shinto yang berdekatan lokasi satu sama lain mungkin bisa dijadikan sebagai salah satu contoh kecil. Contoh mudah adalah komplek kuil Nikko di Jepang utara serta Kuil Kiyumizu dera di Kyoto, Jepang bagian tengah. Di tempat ini kita bisa menemukan kedua kuil ini berdiri dalam areal yang sama. Kompek kuil tersebut sangat terkenal karena termasuk warisan dunia (World Heritage Site). Namun tentu saja bukan karena faktor toleransi agama, tempat ini dijadiakan warisan dunia namun karena keindahannya. Keindahan ditambah toleransi, sepertinya merupakan paduan yang lengkap. Contoh lain sepertinya terlalu panjang untuk disebutkan disini.

Kepercayaan lama dirasa lebih memahami permasalahan mereka sehari hari

Selain "kebebasannya", agama ini juga diterima secara luas karena dirasa lebih dekat atau lebih "memahami" permasalahan mereka sehari hari. Misalnya berbagai festival atau upacara budaya yang ada seperti festival tanam padi, pergantian musim, meresmikan rumah baru atau bahkan ritual peluncuran produk baru untuk kasus yang lebih modern. Bahkan saat pertandingan piala dunia, sejumlah anak datang ke kuil dan meminta pendeta untuk mendoakan atau memberkati tim nasional mereka. Hal ini umum terjadi dalam tradisi Shinto.

Kemudian konsep "Omamori" atau jimat keberuntungan, jimat lulus ujian, mendapat pekerjaan, usaha lancar dll dirasa lebih dekat dengan kehidupan riil yang tentu saja dilarang dan diharmkan oleh agama baru. Kehiduapan mereka sehari hari tampaknya sudah sangat ketat dengan batasan norma dan aturan sehingga sulit rasanya kalau harus ditambah dengan aturan baru dalam hal kepercayaan dan agama.

PENUTUP DAN KESIMPULAN

Setelah munulis panjang lebar tentang agama primitif ini tiba saatnya tulisan ini untuk diakhiri dengan beberapa kesimpulan. Kesimpulan yang dibuat adalah sepenuhnya merupakan opini penulis sendiri.

Shinto adalah fenomena menarik. Tidak memiliki ajaran dan dogma apapun sehingga sehingga sama sekali tidak memenuhi syarat untuk disebut agama. Namun disisi lain Shinto memiliki kuil atau tempat suci yang merupakan salah satu ciri khas dari pada agama.

Hal ini jelas membingungkan bagi sebagian orang khususnya orang asing yang cendung menganggap semua orang harus memiliki agama. Ditengah kebingungan tersebut maka dibuatlah penjelasan mudah yang mengatakan bahwa Shinto adalah agama terbesar di Jepang. Lha, ajarannya apa ? Semua agama harus memiliki ajaran khan ? Maka disebutkan bahwa agama Shinto adalah agama yang menyembah matahari dan percaya kaisar sebagai keturunan dewa matarahari.

Bagi orang Jepang sendiri Shinto jelas bukanlah agama jadi wajar kalau kita tidak akan pernah mendengar ada orang Jepang yang mengaku beragama Shinto. Bahkan dalam kehidupan sehari hari dimasyarakat, kata Shinto nyaris tidak pernah dipergunakan. Mereka hanya mengenal kata JINJA yang artinya kuil (shrine) sebagai tempat untuk berdoa. Kuil agama apa ? Agama apa saja yang anda percayai. Berdoa kepada siapa ? Juga tidaklah terlalu penting bagi mereka. Berdoa tidak memerlukan agama dan juga bisa ditujukan kepada siapa saja yang anda percayai, kepada Tuhan, Dewa, Matahari, Bunga, Keluarga, Orang Lain ataupun Diri Sendiri.

Jadi JINJA dianggap sebagai simbul kebebasan, yaitu bebas dari symbol agama, doktrin dan ajaran apapun (free religion). Kebebasan yang mungkin tidak akan didapatkan pada agama lain. Hal inilah yang (mungkin) menyebabkan agama baru seperti Islam atau Kristen relatif sulit berkembang di negara tersebut. Agama Buddha adalah perkecualian karena agama dan kuil Buddha juga memiliki konsep yang nyaris sama dengan Jinja. Jadi kebanyakan orang Jepang akan berdoa di kuil Jinja dan juga sekaligus juga berdoa di kuil Buddha.

Jadi apa itu Shinto ? Sepertinya jawabannya akan tetap membingungkan.

Demikian tulisan singkat saya tentang Shinto. Terlepas dari segala kekurangan dan ke-primitif-an agama ini, khusus dalam hal toleransi dan kerukunan beragama sepertinya tidak ada salahnya kita sedikit belajar dari mereka. Semoga bermanfaat.

 

Ditulis oleh : nyoman ardika
Osaka, June 2009

Edit terakhir : 27 Agustus 2010

REFFERENSI :

  1. http://en.wikipedia.org/wiki/Shinto
  2. http://wapedia.mobi/id/Kuil_Shinto
  3. Pengamatan dan obeservasi sendiri

Pesan untuk adik mahasiswa :

Belakangan ini beberapa kali saya pernah membaca tulisan ini dimuat dalam penulisan karya ilmiah di sejumlah sekolah tinggi. Sangat menyenangkan tentu saja, karena ternyata tulisan saya cukup mendapat apresiasi dari sejumlah kalangan terpelajar. Walau banyak yang mencopy tanpa ijin, tapi pada bagian ini saya tidak hendak membahas tentang hak cipta tapi tentang logika penulisannya.

Pada tulisan ini saya konsisten menyebutkan bahwa Shinto bukanlah agama dan tidak memiliki ajaran apapun. Sedangkan pada tulisan pada wikipedia misalnya menyebutkan sebaliknya. Kenapa berbeda ?

Perbedaannya terletak pada metode penulisannya. Para ilmuwan menggunakan pendekatan mithyologi dan literatur tua dan science, sedangkan saya sendiri sepenuhnya menulis menurut kondisi riil yang terjadi di masyarakat saat ini dengan cara melihat dan ikut berbaur langsung merayakan budaya atau tradisi Shinto.

Jadi untuk mencampur kedua pendapat yang berbeda tersebut dan meramunya menjadi satu tulisannya diperlukan metode yang lebih cerdas. Mencampur menjadi satu, akan membuat akan membuat tulisan menjadi aneh tanpa tujuan. Shinto memiliki ajaran tapi dilain pihak ditulis ada ajaran.

Jadi sekali untuk mencampurnya menjadi satu diperlukan kecerdasan ala mahasiswa. Kalau saya sih cuma lulusan sekolah menengah doang.

Terima kasih





top page


|| About Me || Aturan Copy Artikel dan Photo || Contac Me ||