Pemakaman Kremasi
Menurut kamus bahasa Indonesia, makam
atau kuburan adalah tanah tempat menguburkan mayat atau
orang yang sudah meninggal. Tapi kalau kalau untuk kasus
di Jepang tentu saja difinisi ini tentu saja tidak tepat
karena pemakaman yang mereka lakukan menggunakan cara
kremasi. Apa itu pemakaman kremasi, kenapa harus kremasi,
apa alasannya dan bagaimana dengan pemeluk agama lain
seperti Kristen ataupun Islam yang jelas jelas melarang
kremasi, selengkapnya saya rangkum dalam tulisan kecil
di bawah ini.
Pengertian kremasi
Kremasi adalah proses menghilangkan jasad orang yang
sudah meninggal dengan cara membakar. (Cremation is
the process of reducing dead bodies to basic chemical
compounds in the form of gases and bone fragments.
Dikutip dari Wikipedia). Metode ini umum dilakukan pada
tradisi budaya Hindu dan Buddha serta masyarakat lain
pada masa lalu khususnya untuk golongan bangasawan dan
aristokrat (high sociaty). Sedangkan untuk di Indonesia,
khususnya di Bali dikenal dengan nama Ngaben.
Kremasi bukan budaya Jepang
Sejarah
memang mencatat bahwa pemakaman cara kremasi yang dilakukan
di Jepang tidak bisa lepas dari pengaruh agama Buddha
yang mulai masuk ke Jepang sekitar abad di 7. Sebelum
masuknya agama beru tersebut, pemakaman dilakukan dengan
cara yang umum dilakukan oleh masyarakat di belahan negara
lain yaitu dikubur di dalam tanah (burial). Beberapa
makam kuno yang bisa dicatat adalah makam yang terbuat
dari batu sepanjang 7 meter yang dibangun sekitar 230
dan 200 BC di daerah Nara yang dikenal dengan nama Hokenoyama
Tomb. Kemudian yang lebih fenomenal lagi adalah makam
kaisar Nintoku
seluas 486 meter berbentuk lubang kunci, adalah beberapa
contoh menarik. Makam yang saya sebutkan terakhir ini
berukuran sangat luas, menempati lahan seluas 300.000
meter persegi.
Dengan masuknya agama Buddha ke Jepang maka pemakaman
kremasi mulai diperkenalkan walaupun terbatas hanya
dilakukan oleh golongan pendeta Buddha dan kaum Onboo
yaitu aristokrat atau golongan pejabat tinggi
saja. Jadi kremasi bukanlah suatu keharusan karena ajaran
Buddha yang berkembang di Jepang saat itu memberikan pilihan
empat cara pemakaman yaitu :
- Dosō atau ditanam
di tanah ( earth burial )
- Suisō atau
dihanyutkan ke air ( water burial )
- Fusō atau di
letakkan di alam terbuka ( exposure in the wild atau
wind burial ) dan
- Kasō atau dibakar
( cremation ).
Kemudian pemakaman kremasi ini baru mulai dilakukan secara
luas oleh masyarakat umum karena pengaruh dari sekolah
Buddha sekte Jōdō
Shinshū atau Pure
Land yang didirikan oleh Shinran (1173-1262).
Kelompok Anti Kremasi
Pemakaman kremasi yang mulai populer dilakukan pada masa
itu, tidak ayal menimbulkan perdebatan antara pendukung
dan penentang kremasi. Mereka menganggap kremasi
merupakan produk budaya asing (agama Buddha) dan tidak
sesuai dengan budaya lokal. Kremasi juga disebut kebiasaan
seten masa lalu yang harus ditinggalkan (Evil
customs of the past). (Sumber : goole book)
Pada jaman Tokugawa. (1603-1868) kelompok anti kremasi
bertambah banyak yang dipelopori oleh pengikut atau murid
ajaran Confucianism.
Mereka saat itu mempunyai pengaruh yang sangat besar,
sangat aktif melobi orang pemerintahan dan juga pihak
istana. Usaha mereka cukup berhasil karena saat itu banyak
penguasa daerah saat itu mengeluarkan aturan yaitu melarang
pelaksanaaan kremasi di daerahnya.
Dilarang dan kemudian di dukung
Pada jaman Reformasi Meiji atau tepatnya sekitar tahun
1875, pemerintah secara resmi melarang pelaksanaan kremasi
karena tindakan membakar orang yang sudah menginggal dianggap
bisa merusak moral masyarakat (throwing
bodies into fire was disrespectful to the dead)
dan yang kedua asap pembakaran bisa merusak kesehatan
publik (the
foul smoke produced by burning corpses was dangerous to
public health). Aturan pelarangan ini berlaku
pada semua orang termasuk golongan pendeta dan juga golongan
kelas atas . (Sumber
: google book)
Upacara kremasi memang menimbulkan dilema yang sangat
pelik di Jepang saat itu. Di satu sisi, pemakaman kremasi
merupakan satu solusi yang effektif dalam mengatasi penyempitan
lahan namun di lain hal pemakaman kremasi juga menimbulkan
masalah terutama asap pembakaran yang dianggap mengganggu
kesehatan. Areal tempat pemakaman yang dulu dibangun jauh
dari perumahan penduduk, namun karena perluasan kota akhirnya
pemukiman baru mulai dibangun berdekatan atau bahkan bersebelahan
dengan areal pemakaman. Hal ini tentu saja aktivitas kremasi
akan menimbulkan dilema pada penduduk sekitarnya.
Beberapa tahun kemudian, larangan kremasi akhirnya dicabut.
Salah satu alasan terpenting dari pencabutan larangan
ini adalah telah ditemukannya teknologi kremasi yang semakin
modern sehingga alasan polusi yang dikeluhkan selama ini
bisa diatasi. Sejak itu, pemakaman kremasi mulai menjadi
pilihan bagi kebanyakan orang. Kebetulan pada saat itu
Jepang sedang gencar gencarnya melakukan modernisasi dalam
segala bidang seperti teknologi, pendidikan dan sistem
perundang undangan dan beralih dari sistem pemerintahan
tradisional ke modern
Berbiara tentang modernisasi tentu tidak lepas dari
pengaruh Eropa dan Amerika yang merupakan kiblat dari
modernisasi Jepang. Sebelumnya negara Eropa juga pernah
mengalami masalah yang sama namun secara bertahap masalah
ini mulai teratasi setelah diterapkannya sistem pembakaran
kremasi. Dari sinilah Jepang mulai belajar menerapkan
sistem teknologi dan managemen pemakaman modern.
Alasan pemakaman kremasi populer
di Jepang
Pemakaman kremasi, seperti yang telah saya sebutkan diawal,
dilakukan bukan karena alasan agama namun lebih banyak
karena faktor lain diluar agama yang salah satunya adalah
karena peraturan dan perijinan. Pemakaman kremasi hampir
bisa dikatakan wajib diterapkan pada setiap pemakaman
dan diatur oleh undang undang. Hal ini disebabkan karena
pemakaman kremasi dianggap sebagi solusi terbaik mengatasi
masalah sanitasi atau kesehatan, menjaga kebersihan air
tanah serta alasan klasik pada setiap negara maju yaitu
penyempitan lahan. Alasan inilah yang mungkin membuat
aturan tentang pemakaman diatur secara ketat dengan undang
undang. Kemudian bagi masyarakat umum, pemakaman kremasi
dianggap sebagai alternatif paling murah dibandingkan
dengan cara pemakaman bentuk lain.
Namun perlu dicatat disini semurah murahnya harga di
Jepang tetap saja sangat mahal kalau dibandingkan dengan
di negara lain. Harga standar rata rata untuk biaya pemakaman
di negara tersebut adalah sekitar 2,5 juta yen, yang kalau
di rupiahkan dengan kurs 100 yen akan menjadi sekitar
250 jutaan rupiah. Jadi kalau seandinya memakai cara penguburan
konvensional, tentu saja berarti akan memerlukan biaya
yang jauh lebih mahal.
Harga lahan yang sangat mahal sebetulnya bukanlah menjadi
masalah besar bagi sebagian orang, khususnya golongan
kaya, namun masalahnya utama yang ada di negara itu adalah
tempat makam konvensional yang sudah tidak ada lagi. Cukup
menarik untuk dicatat bahwa dari luas wilayah daratan
mereka 67% merupakan gunung, bukit yang dibiarkan kosong
tanpa bangunan apapun. Jadi sebetulnya tanah "kosong"
masih tersedia sangat luas di negara tersebut. Namun masalahnya
kebijakan pemerintah mereka yang sangat ketat yaitu melarang
mengalih fungsikan semua lahan yang ada menjadi fungsi
lain, termasuk perumahan apalagi kuburan.
Satu keluarga cukup satu makam
Dengan sistem kremasi, apakah hal itu berarti tidak ada
kuburan di negara tersebut ? Tentu saja ada. Namun berbeda
dengan kuburan konvensional yang memerlukan banyak lahan,
kuburan di Jepang umumnya cendrung berukuran serba mini
karena di dalamnya hanya menyimpan abu sisa pembakaran
saja. Disamping ukuran makam yang serba kecil tadi, juga
ada budaya atau tradisi lain yaitu membuat satu makam
untuk satu keluarga, jadi satu nisan dihuni oleh semua
keluarga beserta keturunannya.
Makam jenis ini biasanya akan diwariskan pihak anak laki
laki tertua, sedangkan untuk anggota keluarga lain akan
membuat makam keluarga baru. Khusus untuk pendirian makam
baru, ada juga tradisi lain yang tidak kalah uniknya yaitu
mencantumkan semua anggota keluarga yang ada, walaupun
pemilik nama yang bersangkutan masih hidup yang tujuannya
salah satunya adalah untuk menghemat biaya pembuatan batu
nisan. Untuk membedakannya umumnya digunakan warna merah
untuk mereka yang masih hidup dan akan dihapus (warnanya)
ketika yang bersangkutan saat meninggal nanti.
Kremasi dewasa ini
Saat ini pemakaman kremasi diterima dan dijalankan oleh
sebagian besar penduduk Jepang hampir tanpa ada penolakan
sama sekali. Data dari statistik tahun 2005 menyebutkan
dari semua upacara pemakaman yang ada 99.82% menggunakan
cara kremasi. Sedikit perbandingan untuk negara lain adalah
UK - 70.70%, USA - 27.12%, Italy - 6.62%, Ireland - 5.40%
(estimate only, data sumber tidak dicatat). Aturan pemakaman
kremasi sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama karena
dari semua pelaksanaan kremasi di negara tersebut hanya
91% yang menggunakan ritual Buddha sedangkan sisanya menggunakan
ritual kepercayaan lain.
Bagaimana dengan pemeluk agama lain ? Penganut agama
Kristen yang yang sangat dominan ditemukan di pulau Kyushu
atau wilayah Nagasaki sepertinya tidak ada masalah yang
berarti karena hampir semua pemakaman cara Kristen juga
menggunakan sistem pemakaman kremasi. Perbedaannya hanyalah
pada ritual dan bentuk makam. Sedangkan khusus untuk pemeluk
agama Islam sepertinya mendapatkan sedikit perkecualian
yaitu bisa dikubur tanpa harus dikremasi. Sedikit catatan,
pemeluk agama Islam di negara tersebut relatif sangat
kecil dan sebagian besar adalah orang asing jadi sampai
saat ini bisa dikatakan hampir tidak ada kendala berarti.
Semoga bermanfaat
Ditulis oleh : nyoman ardika
Osaka 02 Agustus 2009
(Edit terakhir : 20 Agustus 2009)
REFFERENSI :
http://en.wikipedia.org/wiki/Cremation
Encyclopedia
of Cremation, Google book
http://en.wikipedia.org/wiki/Japanese_funeral
|
VOCABULARY :
|
|
Upacara kematian |
O Soushiki |
‚¨‘’Ž® |
|
kremasi |
kasou |
‰Î‘’ |
|
dikubur |
maisou suru |
–„‘’‚· ‚é |
|
kuburan (burial) |
bochi |
•æ’n |
|
kuburan Jepang |
o haka |
‚¨•æ |
|
kuburan umum |
kyoudou bochi |
‹¤“¯•æ’n |
|
public health |
kousyuu eisei |
ŒöO‰q¶ |
|
top page
|