õ
Sejarah agama Kristen di
Jepang
PENDAHULUAN
Agama Kristen mempunyai perjalanan sejarah yang cukup panjang,
berliku dan penuh intrik dalam perkembangannya di Jepang.
Agama ini dipercaya pertama kali diperkenalkan di Jepang
oleh misionaris Katolik dari Spanyol yang bernama Francisco
Xaverius yang tiba di kota Nagasaki, Kyushu tahun 1550.
Beberapa site kadang menuliskan nama misionaris Spanyol
tersebut dengan dengan nama St Francis Xavier atau Franciscus
Xaverius dan dengan tahun kedatangan yang sedikit berbeda
(1549). Sedangkan di tulisan ini saya memakai referensi
dari site Prefecture
Nagasaki.
Menurut catatan sejarah yang ada, bangsa Eropa pertama
yang berhubungan dagang dengan Jepang adalah orang Portugis
yang mendarat di pulau Kyusu pada tahun 1542, jadi ada kemungkinan
juga kalau saat itu agama Kristen juga sudah mulai masuk
disebarkan ke negara tersebut. ( Sumber : disini
dan disini
). Bahkan saya pernah membaca tulisan yang mengatakan kedatangan
agama Kristen di Jepang jauh lebih awal dari yang diperkirakan
yaitu sekitar 400 AD atau bahkan 199 AD walaupun catatan
yang lebih lengkap dan pasti belum ditemukan (sumber tidak
dicatat).
Pada masa itu pemerintahan di negeri tersebut terpusat
pada para Daimyo
yaitu penguasa daerah yang merangkap sebagai kepala perang
(Shogun) atau semacam raja daerah pada masal lalu. Hubungan
antara Daimyo satu dengan lainnya cendrung tidak akur, sering
terjadi konfilk, persaingan dan bahkan perang memperluaskan
daerah kekuasaannya.
Dari sejumlah penguasa yang itu, tercatat ada 3 nama besar
yang berhasil mempersatukan negeri Jepang yaitu Oda Nobunaga,
Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyesu yang merupakan pemerintahan
militer terakhir. Setelah itu kekuasaan para Samurai mulai
dihapuskan dan Jepang mulai memasuki masa modern yang diawali
dengan masa Restorasi Meiji.
KRISTEN DALAM EMPAT JAMAN
Oda Nobunaga (1534-1582)
Pemimpin militer ini dikenal menjalin hubungan yang cukup
dekat dengan missionaris Kristen bahkan memberikan kebebasan
kepada missionaris Kristen seperti pada tahun 1564 pemerintahannya
memproteksi penyebaran agama Kristen di Kyoto. Pembangunan
beberapa gereja sperti Gereja Nanbanji Christian di Kyoto
pada tahun 1578 juga disponsori oleh pemerintah saat itu.
Pada masa inilah tampaknya penyebaran agama Kristen cukup
pesat dan banyak penguasa daerah saat itu yang beralih memeluk
agama Kristen.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa ditengah dukungan penuh
penyebaran agama baru itu oleh penguasa saat itu, sebenarnya
tidak bisa lepas sama sekali dari kepentingan politik yaitu
meredam pemberontakan yang banyak muncul saat itu yang didukung
oleh pendeta agama Buddha dari sekte Tendai di kuil Hiei.
Pemberontakan akhirnya berakhir dengan penyerbuan ke kuil
di yang terletak di atas puncak bukit itu dan membunuh ribuan
pengikutnya. Disamping alasan di atas ada juga alasan lain
yang tidak kalah pentingnya yaitu mempermudah hubungan dagang,
mendapatkan sejata, mesiu, meriam dll. Sebagai contoh tahun
1563 Omura Sumitada penguasa daerah Sonogi di provinsi Hizen
(sekarang bagian dari Nagasaki) tertarik menjadi Kristen
setelah missionaris Portugis berjanji untuk menjamin bahwa
kapal dagang Portugis akan datang ke daerah kekuasaannya.
Dia kemudian memberikan daerah Nagasaki pada orang Portugus
tahun 1580.
Toyotomi Hideyoshi (1537-1598)
Pada awalnya Toyotomi Hideyoshi penguasa Jepang saat itu
yang berpusat di Osaka memberi kebebasan dalam penyebarkan
pengaruhnya. Namun situasanya mulai berubah pada saat di
beberapa wilayah, para Daimyo
atau kepala daerah yang beralih memeluk agama Kristen. Hal
ini juga berarti kekuasaan misionaris dan orang asing menjadi
semakin besar dan menghawatirkan. Tanggal 24 Juli 1587 akhirnya
pemerintah mengumumkan sebuah peringatan yang dikenal dengan
nama "Bateren Tsuiho Rei" (The Purge Directive
Order) atau perintah pendeportasian dan pembatasan
aktivitas para missionaris di beberapa daerah.
Masalah semakin mencapai puncaknya ketika pada tanggal 26
Agustus 1596 kapal perang Spanyol, San Felipe singgah salah
satu pelabuhan pulau Shukoku, Jepang dalam perjalananya
dari Philipina ke Acapulco. Kapal itu dilengkapi dengan
persenjataan lengkap sehingga tentu saja menimbulkan kecemasan
dari pihak pemerintah apalagi pada saat itu Philipina juga
sudah dikuasai oleh Spanyol. Kapal ini ahirnya diserang
dan dihancurkan. Setelah masa itu, mulai diberlakukan kebijakan
sangat ketat yang membatasi kebebasan penduduk berhubungan
dengan pihak asing termasuk juga penyebaran membatasi kegiatan
missionaris agama Kristen.
Tokugawa Ieyesu (1543 - 1616)
Pada tahun 1608, hubungan diplomatis antara Belanda dengan
Jepang dimulai. Tidak jauh beda dengan penguasa sebelumnya,
Tokugawa Ieyasu juga pada awalnya bersikap lunak dan toleran
terhadap agama Kristen. Kebijakan anti Kristen dimulai setelah
mulai terjadi konflik dagang dan juga perebutan pengaruh
dengan pihak asing. Konflik akhirnya mencapai klimaknya
dengan kasus Madre de Deus yaitu terbunuhnya 40 orang Jepang
oleh serangan kapal Portugis.
Kekuatiran serangan dari pihak asing akhirnya semakin besar
dan puncaknya pada tahun 1635 Tokugawa Ieyesu secara paksa
menutup negerinya secara total dari pengaruh luar. Pembersihan
pengaruh asing secara besar besaran dimulai, tidak terkecuali
tentu saja pengikut agama Kristen termasuk didalamnya. Sebagian
penganut Kristen yang setia tetap menjalankan ibadahnya
dengan sembunyi sembunyi dan dengan berbagai cara misalnya
perwujudan Maria juga disamarkan menyerupai dewi Kannon
(baca : Kakure
Kirishitan )
Restorasi Meiji (1868 - 1912)
Pada masa periode ini, Jepang mulai memasuki jaman baru,
pemerintahan militer dan peran samurai mulai dihapuskan
dan modernisasi besar besaran dalam segala bidang mulai
dilakukan. Masa ini diawali dengan mendaratnya membawa empat
kepal perang asing yang dipimpin oleh Commodore Perry ke
Shimoda pada tanggal 8 Juli 1853 dan masa mengisolasi diri
dari dunia luar selama 250 tahun, akhirnya berakhir.
Enam tahun kemudian penyebaran agama Kristen dimulai kembali
dengan kedatangan 7 misionaris Protestan. Walaupun Jepang
bisa dianggap sudah mulai memasuki babak baru, kecurigaan
terhadap agama Kristen masih tetap belum bisa dihilangkan
sehingga konflik masih tetap terjadi di sejumlah tempat
sampai akhirnya semua ketidak toleransian ini berkhir sama
sekali setelah tahun 1873. Setelah masa itu undang undang
yang menjamin kebebasan beragama berfungsi dengan semestinya
dan perkembangan agama Kristen di negara tersebut mulai
memasuki masa cerah.
KONFLIK KEPENTINGAN
Ajaran Kristen dengan monotheismenya tentu saja dianggap
sebagai ancaman bagi budaya dan agama lokal yang sering
dianggap kuno dan ketinggalan jaman. Namun diantara kelompok
yang merasa paling terancam dengan penyebaran agama ini
adalah pihak pemerintah yang dalam hal ini adalah para Shogun.
Ajaran Kristen menjunjung kebebasan individu adalah merupakan
ancaman bagi pemerintah yang lebih mementingkan kesetiaan
tanpa syarat pada penguasa atau pimpinan.
Namun di saat lain penyebaran agama Kristen juga kadang
didukung dan dilindungi karena adanya kepentingan lain yaitu
mempermudah urusan dagang khususnya memperoleh senjata dengan
orang Eropa seperti yang telah saya sebut di atas. Beberapa
pemimpin militer wilayah tertentu memeluk agama baru ini
untuk tujuan mempermudah mendapat senjata dan melakukan
pemberontakan ke pusat. Masalah menjadi semakin komplek
karena orang Eropapun memanfaatkannya untuk menyebarkan
pengaruh ataupun bahkan memperluas wilayah jajahan.
Pemberontakan
Shimabara yang sangat terkenal di propinsi Nagasaki
tahun 1637 - 1638 mungkin merupakan salah contoh nyata dari
konfik kepentingan yang akhirnya ikut melibatkan peran agama
di dalamnya. Setelah pembrontakan, yang menyebabkan kerusakan
parah bukan hanya pada tempat ibadah Gereja ini berhasil
ditumpas, penyebaran agama baru ini manjadi selalu dikekang
dan dicurigai. Kehadiran para missionaris Kristen beserta
penduduk lokal yang telah beralih ke agama Kristen cenrung
menimbulkan kecurigaan dari penguasa karena kehadiran mereka
dianggap sebagai kepanjangan tangan dari para pihak asing
untuk menguasai negeri Jepang.
Namun di tengah tekanan dari penguasa yang
sangat besar, agama Kristen bisa dikatakan sukses berkembang
di negara tersebut. Tercatat ada sekitar 17 Daimyo
atau kepala daerah yang memeluk agama Kristen. Terlepas
dari apapun alasannya dari motivasi memeluk agama baru ini,
baik karena tujuan dagang, militer ataupun murni karena
keinginan sepertinya untuk ukuran negara Jepang yang relatif
kecil, angka itu sudah termasuk sangat besar. Sedikit catatan,
satu wilayah Daimyo luasanya mungkin setara dengan satu
provisnsi atau sedikit lebih kecil, namun untuk terlalu
luas untuk menyebutnya sebagai kabupaten. Link selengkapnya
bisa dibaca disini
KRISTEN DI JEPANG SAAT INI
Bagaimana dengan situasi dan kondisi penyebaran agama Kristen
saat ini ? Tentu saja situasi negara Jepang saat ini tentu
saja tidak sama dengan Jepang ratusan tahun yang lalu yang
masih primitif. Semua kecurigaan, pengerusakan dan pembunuhan
hanya tinggal sejarah kelam yang hampir tidak dijumpai di
masa sekarang. Agama diberi kebebasan penuh untuk berkembang
dan negara sama sekali tidak ikut campur tangan di dalamnya
dan dalam undang undang. Bagi pemerintah, agama dianggap
tidak lebih dari kegiatan budaya.
Saat ini hampir di seluruh pelosok negeri ini kita bisa
temukan bangunan gereja berdampingan atau bahkan bersebelahan
dengan kuil. Wilayah yang paling dominan populasi umat Kristennya
adalah pulau Kyushu di Jepang tengah atau tepatnya di kota
Nagasaki. Hal ini sepertinya sangat wajar karena daerah
ini adalah tempat pertama yang bersentuhan langsung dengan
kebudayaan Eropa. Bahkan bukan pemandangan aneh kalau kita
menjumpai satu desa tertentu yang penduduknya hampir seluruhnya
adalah pemeluk agama Kristen. Sedangkan untuk kota besar
komposisi penduduknya lebih beragam.
Beberapa tokoh Kristen yang populer dan bisa di catat adalah
Shusaku
Endo seorang penulis yang lahir pada tahun 1923 dan
penulis wanita, Ayako
Sono (1931). Kemudian orang Kristen yang pernah memegang
jabatan tertinggi untuk pemerintahan yaitu sebagai perdana
menteri tercatat ada 5 orang yaitu Ohira
Masayoshi, Perdana Menteri Jepang di tahun 1978-1980,
Hara
Takahasi (1918-1921), Ichiro
Hatoyama (1954-1955), Tetsu
Katayama (1947-1948), dan Shigeru
Yoshida (1946-1947 dan 1948-1954).
Yang menarik, data di atas bisa dikatakan hampir tidak
terlalu penting bagi orang kebanyakan. Agama adalah urusan
pribadi jadi sepertinya kebanyakan masyarakat awam tidak
akan pernah tahu tentang agama seseorang ataupun agama pemimpinnya.
PENUTUP
Agama Kristen secara umum bisa dikatakan hidup damai dan
berdampingan tanpa ada konflik apapun. Tempat ibadah, pelayanan
sosial, pendidikan, kesehatan yang dikelola oleh oraganisasi
Kristen tumbuh marak di hampir seluruh pelosok Jepang. Hari
Natal disambut dengan meriah dan dirayakan dengan meriah
bahkan sebagian pasangan muda Jepang saat ini lebih memilih
merayakan pernikahannya di gereja.
Jadi apakah semua itu merupakan indikasi agama Kristen
sudah sukses berkembang bahkan berhasil meng-Kristenkan
sebagian penduduk Jepang ? Sepertinya masih terlalu jauh
untuk mengambil kesimpulan seperti ini karena semua hal
itu sebenarnya tidak lebih gaya hidup semata. Gaya hidup
? Ya, sepertinya tidak berlebihan kalau saya sebut seperti
itu karena sebenarnya dalam hal agama hampir tidak banyak
yang berubah dari masyarakat mereka. Kemeriahan perayaan
Natal dan sejenisnya tidak lebih dari ceremonial belaka.
Di negara yang bernama Jepang ini, siapa yang peduli dengan
agama ?
Tulisan ini dirangkum dari berbagai sumber oleh : nyoman
ardika
Osaka, June 2009
Revisi terakhir : 29 Agustus 2009
REFFERENSI :
http://www.pref.nagasaki.jp/s_isan/english/history/history_1.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Kirishitan
http://pargodungan.org/catatan-pendek-sejarah-kekristenan-di-jepang/
http://en.wikipedia.org/wiki/Shimabara_Rebellion
http://en.wikipedia.org/wiki/Persecution_of_Christians_in_Japan
http://en.wikipedia.org/wiki/Christianity_in_Japan
http://en.wikipedia.org/wiki/Twenty-six_Martyrs_of_Japan
top page
|