Uang
dan Philosophynya
Cara pandang orang Jepang terhadap
uang
Uang hanya bisa didapat
dengan kerja
Tampaknya ini adalah philosophy dasar
dalam hidup yang harus dipahami dan selalu dipegang oleh
kebanyakan orang jepang. Meminta uang (tanpa bekerja) adalah
pantangan disini. Ini bukalah philosophy kosong, namun benar
benar diterapkan dalam kehidupan sehari hari.
Contoh paling mudah adalah pengemis yang
minta uang, yang umum bisa dijumpai di kota kota besar mana
saja. Orang jepang boleh bangga, karena negara ini secara
umum bisa dikatakan bersih dari peminta minta atau orang
yang menadahkan tangan di tempat umum. Bukan kerena tidak
ada orang miskin, gembel, gelandangan atau sejenisnya (baca
: Mengintip kehidupan
gelandangan di Jepang ) namun karena dipastikan tidak
akan ada orang yang memberi. Sangat tidak umum memberi uang
begitu saja pada orang lain tanpa alasan yang jelas.
Memberi karena kasihan atau miskin bukan
dianggap sebagai alasan yang tepat bahkan tidak jarang dianggap
sebagai penghinaan. Bantuan biasanya lebih sering diberikan
dalam bentuk makanan atau barang seperti selimut, tenda
atau kebutuhan dasar lainnya. Beberapa kali saya pernah
diajak oleh keluarg Jepang, yang menampung saya sementara,
untuk mengunjungi keluarganya adik kandungnya yang tinggal
di daerah lain, yang kondisi ekonomnya bagi bumi dengan
langit. Kami pergi dengan kendaraan van pribadi dengan begasi
yang penuh dengan makanan kaleng, buah, biskuit dan kue
sebagai oleh oleh ! "Hara ga hette wa ikusa wa dekinu",
kalau lapar tidak bisa berjuang, jadi diberikanlah bantuan
dalam bentuk makanan yang bagi saya tampaknya tidak berguna
karena kalau saya habis makan, biasanya mata jadi berat
dan ingin tidur.
Philosophy "uang hanya bisa didapat dengan bekerja"
ini jugalah yang mendasari kecilnya angka korupsi di negara
ini. Korupsi umumnya dilakukan oleh golongan politisi, dengan
jumlah uang yang amat besar. Jadi, sekalian mandi, basah
saja kekalian, mungkin begitu maksudnya. Rekan jepang saya
sangat heran ketika mengetahui bagaimana membudayanya korupsi
di negara kita, jauh lebih parah dari yang dia perkirakan.
Bahkan dilakukan secara terang terangan oleh banyak orang
namun dalam jumlah uang yang kecil. Weleh, tidak tahu dia,
..kan kecil kecil, lama lama menjadi bukit.
Maling dan korupsi jelas beda, namun orang
jepang kebanyakan cendrung menyebutnya dengan "dorobo"
atau maling. Tinggal di penjara yang bisa disebut hotel
gratis, juga sebenarnya tidak sepenuhnya benar, karena mereka
juga harus bekerja walaupun secara paksa. Orang Indonesia
yang tertangkap bekerja secara illegal di negara ini contohnya,
biaya deportasinya juga ternyata tidak gratis seperti yang
saya kira selama ini. Mereka juga harus menjalani kerja
paksa di penjara sampai uang yang terkumpul cukup untuk
biaya kepulangan. Kalau uang yang dimiliki cukup atau menerima
kiriman dari keluarga lain, kepulangan bisa dilakukan lebih
cepat.
Kaya tidak dari bunga
bank atau warisan
Bunga bank di negara tersebut sangat kecil, hanya 0.25%
pertahun, jauh lebih baik dari tahun sebelumnya yang nyaris
0% dan berlangsung selama hampir 6 tahun. Jadi hidup dari
penghasilan bunga hampir tidak mungkin di negara tersebut
atau malah bisa jadi buntung karena tiap bulan akan dipotong
pajak dan biaya bank.
Kemudian soal warisan lebih parah lagi.
Pajak warisan (inheritance tax atau Sōzaku zei) di
negara tersebut sangat besar dan tidak tanggung tanggung
10 - 70 % ! (sumber : Tax Bureau Ministery of Finance Japan).
Prosentase terkecil 10% adalah untuk kasus tertentu saja,
sedangkan kasus umum biasanya adalah sekitar 50%. Jadi bukan
hal aneh kalau seorang anak yang mendapat warisan tanah
yang luas harus menjual sebagiannya hanya untuk membayar
pajak dan dalam dua atau tiga generasi, dijamin harta warisan
itu akan habis untuk bayar pajak. Sehingga dari kasus ini
menjadi jelas bahwa kaya turunan sedikit susah diterapkan
dinegara tersebut. Ungkapan "If you're rich and you
die in Japan, be prepared to pay ! " rasanya amat tepat.
Di saat undang undang ini diberlakukan
untuk pertama kalinya, terjadi gejolak dan kekacauan serta
ditentang habis habisan. Siapa yang menentangnya ? Tentu
saja siapa lagi kalau bukan tuan tanah dan golongan kaya.
Namun aturan tetap aturan yang harus ditaati dan pemerintahnya
konsisten dengan aturan yang konrtoversial dan berani dijamannya
itu. Bukan hanya orang kaya, si pejabat sendiri pasti kena
dampak dari aturan yang dibuatnya sendiri.
Dewasa ini di negara tersebut, cukup banyak
orang tua yang sengaja tidak meninggalkan warisan apapunpun
berupa uang pada anak cucunya tapi malah menyumbangkannya
pada yayasan sosial atau pendidikan, contohnya paling populer
mungkin adalah Soichiro Honda, pendiri Honda Motor. gWarisan
paling berharga yang dapat saya berikan adalah membiarkan
mereka sanggup berusaha sendiri," katanya.
Anak sekolah yang
tidak menyumbang
Budaya menyumbang dari anak sekolahan untuk mengumpulkan
dana ketika terjadi bencana misalnya, adalah hal yang umum
dan dianggap baik di negara, namun lain lubuk lain ikannya,
di negara jepang malah dianggap sebaliknya. Memakai uang
pemberian orang tua untuk menyumbang atau membantu orang
lain bukan dianggap sebagai perbuatan baik. Pola pikir yang
mungkin sedikit aneh, tapi kalau dipikir juga ada benarnya.
Mirip dengan analogi menyumbang tapi tidak dengan uang sendiri,
misalnya dengan uang hasil korupsi.
Namun tentu saja hal itu bukan berarti
para anak anak harus kehilangan kepekaannya untuk membantu
sesama, namun setidaknya ada cara yang dainggap lebih baik.
Sumbangan biasanya dilakukan dengan cara lain seperti, berdiri
dengan berbaris rapi di depan stasiun dengan kotak sumbangan
dari karton dan sepanduk terbentang, mereka berteriak lantang
dengan lucu, mengetuk hati setiap orang yang lewat untuk
menyumbang. Kebanyakan orang tidak akan tega untuk lewat
begitu saja. Golongan anak sekolahan inilah yang biasanya
sangat aktif dan cepat bereaksi ketika terjadi suatu bencana,
bukan saja yang terjadi negara mereka sendiri, namun juga
bencana di negara lain, seperti misalnya gempa Yogya baru
baru ini.
Tinggal di
rumah sendiri juga harus bayar
Hampir kebanyakan pelajar atau mahasiswa disini dan mungkin
juga di negara maju lainnya, nyambi atau setidaknya punya
pengalaman bekerja paruh waktu. Motifnya terbesar bukanlah
untuk biaya pendidikan tapi lebih banyak untuk bersenang
senang. Biaya pendidikan anak serta sedikit uang saku adalah
kewajiban orang tua sepenuhnya, sedangkan kalau si anak
merasa kurang dan menginginkan lebih, maka si anak harus
bekerja untuk mendapatkanya.
Kemudian yang lebih menarik sekaligus aneh
adalah ketika kewajiban menyekolahkan anaknya itu sudah
selesai, orang tuanya umumnya cendrung "memaksa"
anaknya untuk keluar dari rumah untuk belajar mandiri. Tetangga
sebelah rumah saya contohnya, anaknya masih tinggal dengan
orang tuanya, namun harus membayar sejumlah uang untuk biaya
kamar dan makan. Jumlahnya memang kecil, namun menurut mereka
"Bukan uangnya yang utama, namun nilai pelajaran yang
terkandung didialamnya" katanya memberi penjelasan.
Bingung ? Tentu saja, bukan cuma bingung, namun juga tidak
percaya ! Tapi begitulah keadaanya yang sebenarnya secara
umum.
Memberi uang ke anak kandungpun
bisa bermasalah
Tentu saja, kalau anak yang kandung masih
dalam masa tanggungan tentu saja bukan masalah, namun kalau
si anak sudah besar, sudah berkeluarga dan punya anak bisa
jadi masalah di negara tersebut, terlebih lagi si anak adalah
seorang pejabat publik.
Kasus perdana menteri tahu 2009, Yukio
Hatoyama adalah mungkin menarik untuk dijadikan contoh.
Setiap bulan secara rutin sang perdana menteri pernah menerima
transfer uang dari sang Ibu kandung. Hal yang mungkin wajar
di negara kita, apalagi sang Ibu adalah tergolong orang
kaya, namun ternyata di negara tersebut aktivitas ini merupakan
masalah besar.
Makan bersama, bayarpun
bersama
Traktir makan, adalah hal biasa di negara
kita namun di negara tersebut, hal ini nyaris tidak umum
dilakukan terlebih lagi dengan rekan yang sebaya. Semua
orang umumnya membayar makanannya sendiri sendiri.
Orang Jepang mengenal budaya Nomikai, yaitu
acara minum minum atau makan bersama setelah selesai waktu
bekerja terelbih lagi di akhir pekan. Makanan biasanya tidaklah
dipesan sendiri sendiri namun dipesan bersama sama dalam
variasi yang banyak. Di akhir acara harga akan ditotal menjadi
satu. Siapa yang harus membayar ? Tentu saja semua anggota
harus membayar dengan jumlah yang sama rata sampai nominal
terkecil dan kasir biasanya sudah tahu apa yang harus dilakukan.
Rekan yang kaya membayari rekan yang miskin
biasanya tidak umum terjadi. Ini berarti mereka sepakat
berdiri sama tinggi atau duduk sama rendah. Kalau hubungannya
antara bawahan dengan atasan, atau orang yang lebih tua
dengan yang lebih muda atau pria dengan wanita, dipastikan
yang pria atau yang posisinya lebih tinggilah yang harus
membayar. Antara anak dan orang tuanya, ketika makan diluar,
walaupun gaji anaknya lebih tinggi dari orang tuanya, tetap
saja orang tuanya yang biasanya membayar. Tampaknya tidak
ada orang Jepang yang tidak mengetahui aturan "tidak
tertulis" ini, walaupun mereka yang pura pura tidak
tahu juga pasti ada.
Semoga bermanfaat
Ditulis oleh : nyoman ardika
Osaka, Agustus 2007
top page |